Monday, December 31, 2007

RAJA AIR

Kemarin sudah tiada, beberapa jam yang lalu sudah tiada

Beberapa menit yang lalu juga menghilang

Dan detikpun tertinggal

Kini, yang ada hanya sekarang…

Percuma besok kita pikirkan karena besok belum ada,

Sekarang yang ada.

Menikmati yang sekarang bagiku jauh lebih baik.

Hidup itu mengalir seperti aliran sungai, menuruni mata airnya sendiri dari puncak gunung

Aku merasa hidup seperti itu, setelah bertemu di lautan yang luas baru akan terasa,

oh, betapa kecilnya aku!

Aku menyadari segala kekuranganku diantara banyaknya air

Lalu apa yang aku banggakan?

Airpun berubah menjadi jernih, bagaikan Kristal ditengah samudra yang terkena tamparan sinar

Tetapi sungguh malang air yang masih di bibir pantai, kotor, bau dan tersingkir

Raja air menari-nari ditengah samudra

Jernihnya bagaikan Kristal yang diasah jutaan malaikat

Raja air berkuasa atas bumi,

Bahkan manusia menjadi budaknya

Aku berusaha menjuhi bibir pantai

Supaya raja air mengajaku menari

Terkadang aku gagal mendekat saat badai menghempaskanku

Menjauhkan kembali dengan raja air

Tiap hari aku berdoa

Biar samudra itu tenang

Namun sia-sia

"Jika tanpa rintangan bagaimana kamu bisa menarik perhatianku" raja air marah

Aku terus berusaha mengarunginya

Meskipun hempasan ombak terkadang menendangku berkali-kali

Saat aku terhempas dan tenggelam

Aku melihat kunang-kunang di tengah samudra

Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?

Kunang-kunang itu menariku keatas

Hingga aku terapung kembali

Tetapi aku bangga, bisa berusaha mendekat ke raja air

Memandang wajahnya terkadang aku tidak pantas

Tapi aku ingin menari

Dan aku berharap suatu saat aku juga menjadi raja air

Karena ada damai ditengah samudra

31/12/2007 <dalam refleksi akhir tahun>

Friday, December 28, 2007

BUKAN KARENA AKU

BUKAN KARENA AKU


Aku ada sebelum kamu dijadikan

Dan aku berkuasa atasmu

Namun kamu tidak pantas diberi kuasa

Kamu serakah, meskipun diberi kuasa

Karena yang ada hanya kepentingan

Otakmu kotor

Penuh dengan kepalsuan, iri dan dengki

Itu sebabnya kamu kotor

Aku selalu dijadikan kambing hitam

Padahal kamu tahu bagaimana aku hidup

Sifatku, kamu tahu sejak usia lima tahun

Biarlah aku yang menanggung segala hujatan

Namun kamu harus mau menjadi korban

Aku tidak menginginkan kamu mati namun,

Kamu sendiri yang mendatangi kematia

Aku ingin bersahabat denganmu…

Emm… seandainya aku bisa ngomong

Aku akan berteriak dan menagis setiap hari

Akan kudengungkan kepada setiap telinga yang mendengar

Akan kucongkel semua mata yang melihat

Akan tetapi, aku hanya bisa kamu lihat

Ketika semuanya sudah hancur

Dan kamu menjadi korban

Aku menagis

Saat kamu menangis

Aku bahagia

Saat kamu gembira

Matamu biar melihat bagaimana aku berbicara

Dan telingamu tidak akan bisa mendengar saat aku datang

Semauku, siang, malam, saat kamu terlelap maupun terjaga

Sifatku tidak bisa aku ubah kecuali dari atas

Aku mohon, pahami aku sampai kamu benar-benar mengenalku

Maka semuanya akan menjadi indah…

28/12.2007 <dalam refleksi dengan air>

Thursday, December 27, 2007

SEPERTI ANAK KECIL

SEPERTI ANAK KECIL


Malam Natal kemarin berselimut air


Andaikan saja kenikmatan dibalik selimut itu ada


Aku pasti ada di bawahnya,


Namun suara tawa gadis kecil itu menyemangatiku


Aku bangkit berlari menembus hujan


Suara lonceng segera berdentang


Pukul 00.00 aku pecah sunyi


Gadis kecil melangkah sambil tertawa


Mendekati altar yang berwarna putih


Aku terpaku memandangnya,


saat sang pastor menampar pipinya


Gadis kecil itu tersenyum


Ia tertawa dan tersenyum kembali


Memberikan pipinya yang sebelah


"Oh, Tuhan Engkau sungguh hadir di malam Natal ini"


27/12/2007 <dalam refleksi betapa besarnya cinta Tuhan>



BANGKIT

BANGKIT


Dalam temaran lampu kabut alun-alun kota Bondowoso cak Jo bercanda dengan anak dan istrinya. Ya, meskipun hanya menjual minuman hangat tampak ada keakraban. Baru tiga bulan cak Jo pindah di kota Bondowoso yang jauh dari kebisingan kota besar seperti Surabaya. Dulu cak Jo memang tinggal di Sidoarjo, namun karena tempat usahanya di wilayah Porong leyap dalam beberapa hari ia memutuskan untuk meninggalkan kota tercintanya demi mempertahankan hidup. Usahanya yang ia rintis sejak puluhan tahun telah lenyap ditelan lumpur. Lumpur bercampur bau belerang itu sungguh menyegat kehidupannya. Entah, sampai kapan lumpur itu berhenti, tidak akan nada yang tahu. Entah disengaja atau tidak, semburan lumpur itu juga tidak ada yang tahu. Namun semua itu sudah terjadi, lantas mau dibilang apa? Protespun juga perscuma. Rakyat memang seperti lalat, tidak punya kuasa atas tahta.

Rajapun hanya tersenyum diatas tahta, melihat kehidupan kami yang nyaris mati. Kami menyesal memilih raja seandainya tahu kalau keadaannya seperti ini. Meskipun punya kuasa namun tidak memiliki kuasa atas kehidupan kami. Kami akhirnya tersingkir mempertahankan kehidupan dengan cara kami sediri. Mungkin suatu saat para calon penguasa Negara ini juga akan berusaha membeli suara kami. Tapi maaf, suara kami mungkin akan menjadi bisu dan telinga kami akan menjadi tuli. Lidah kami tidak akan mampu bergetar mengelu-elukan sewaktu raja belum bertahta.

Lalu apa arti demokrasi yang selalu di dengung-dengungkan di telinga kami setiap lima tahun sekali. Demokrasi maaf, "tai asu", hanyalah alat untuk membohongi kami. Buktinya kalau sudah jadi raja lupa pada kami. Kami memang tidak punya kuasa namun kami punya hati nurani dan rasa. Sedangkan raja, hanya punya kuasa.

Kini kami salah satu dari yang tersingkir dan mencoba bangkit dari calon kematian. Dewa pencabut nyawa juga enggan mendatangi kami karena kami masih punya harapan untuk hidup. Bukan sekedar hidup, tapi juga ingin melihat kematian sang raja. Entah raja apa saja; raja minyak, raja sayur, raja kayu, maupun raja gombal.

Biarkan kami tetap hidup meskipun hari ini sudah berakhir. Kami berharap esok masih ada hari yang baru untuk mencari kehidupan yang kami mau. Kami yakin suatu saat kami juga akan menjadi raja; entah raja judi, raja ayam, raja hutan, raja kecil atau maaf, raja singa.

<cak jo-bondowoso 21/12.07> dalam temaram lampu kabut di alun-alun kota.

Friday, December 21, 2007

Lonceng

Dentang lonceng kudengar sepuluh meter dari sumber suara

Lirik lagu "get merried" luluh dengan suara dentang

Aku sejenak berhenti bermain kata

Menggaruk rambut kepala

Aduh! Ada dosa di otakku

Saat hati berperang melawannya

Suara dering hp berbunyi

Mengakhiri detang

Aku termangu

Sejenak sunyi dalam tobat

Bondowoso, 21/12/07

Saat senja di pastoran

Tuesday, December 18, 2007

ASU SU!

Gerimis mengiringi perjalanan ke tempat kerjaku, pagi itu. Badanku masih terasa letih karena semalaman sampai larut menyelesaikan rutinitas pekerjaanku, apalagi aku baru pulang dari luar kota. Mataku masih tampak lebam karena kurang tidur sedang rambutku telihat agak berantakan karena belum aku rapikan dan sedikit pengaruh dari model baru rambutku. Badanku juga masih terasa meriang, mungkin pengaruh kurang tidur. DUARRR! DUARRR! Kialatan cahaya bersamaan dengan suara halilintar memekakkan telingaku. Asu! Diancok! Sepontan umpatan kata itu keluar dari mulutku. Seketika aku menghentikan langkahku, kutatap ke langit sambil kucondongkan badanku. Aku menatap lagi langit sambil berkacak pinggang, namun yang kudengar hanya suaranya saja yang gaduh. Dalam batin aku hanya bertanya. “Kakean gludug ora sido udan, su!” (hanya suara petir yang keras tapi tidak jadi hujan)

Sebenarnya aku ingin menantang kamu. Tapi itu tidak mungkin aku lakukan. Kamu jauh ada diatas saat mendung mulai bersenandung, sedang aku tidak punya sayap. Panahku pun tidak bisa menjangkau karena engkau selalu bersahabat dengan mendung. Aku harus menyingkirkan mendung bila ingin menjatuhkamu dari awan.

Bagiku, petir pagi itu sombong. Mungkin dalam hati ia tertawa karena telah membuatku terkejut. Mungkin ia pikir aku takut berjalan karena sewaktu-waktu ia bisa menyambar rambutku hingga menghitamkan kulitku. Sama sekali aku tidak takut petir, bukan berarti aku membela diri. Aku hanya menghargai keAgungan yang Maha Kuasa karena telah menciptakannya sedemikian rupa. Bukannya aku tidak mau mencaci maki karena aku pikir petir itu justru sangat rapuh. Kilatannya yang putih dan tajam, serta suaranya yang kadang menggelegar bagiku justru menutupi kerapuhannya. Maaf, bukan berarti aku meremehkan karya ciptaanMu. Tetapi mengapa dia sendiri masih belagak kuat jika sesungguhnya rapuh.

Aku kasihan terhadapmu, saat suara gaduhmu menggelegar aku hanya tertawa, maaf! karena aku sudah sedikit banyak tahu siapa kamu.
Petir hanyalah petir tidak bisa menjadi mendung yang menghasilkan hujan
Petir hanyalah petir tidak bisa menjadi rasa yang menghasilkan warna
Petir hanyalah petir tidak bisa menjadi kuat yang menghasilkan bijaksana
Petir hanyalah petir tidak bisa menjadi terang yang menghasilkan damai
Petir hanyalah petir, aku berharap hanya menjadi warna

Malang, 17/12/07
Disela waktu dalam tanya jawab doa

Sunday, December 16, 2007

Aku dan Dirimu

Suatu hari aku bertemu dengan dia, tanpa sengaja. Entah! hingga sekarang aku tidak bisa melupakannya. Perlahan rasa sayang itu ada hingga menyelimuti hatiku. Buatku, pertemuan itu hal yang biasa, namun pertemuan dengan dia tidak biasa. Mataku hanya bisa memandang, terpaku dikelopak matanya dan hatiku terdiam seakan berada dibalik jeruji besi.

Semakin lama aku mengenalnya membuat rutinitas hidupku menjadi tambah teratur. Aku semakin tahu arah dan tujuanku di masa yang akan datang. Tentang cita-cita yang selama ini tidak begitu aku hiraukan, kini semakin jelas meskipun belum semuanya dapat aku sentuh.

Suatu saat aku berharap dapat melihat masa depanku dengan jelas. Tentang kebahagian yang aku pikir hanya semu, ternyata ada dalam diriku. Sekarang aku tidak perlu mencari kebahagiaan itu lagi, karena semua itu sudah ada sebelum semua yang aku pikir ada.

Buat cinta, makasih udah menyetuh hatiku.

Tengkyu God

Sunday, November 4, 2007

AKU MELIHAT TUHAN DIPERSIMPANGAN JALAN

AKU MELIHAT TUHAN DIPERSIMPANGAN JALAN

Terkadang, aku melihat orang-orang yang berada dibalik kaca-kaca itu sesekali mencibirkan bibirnya saat melihatku. Ketika aku tatap kaca-kaca serba gelap berlalu lalang didepanku yang kulihat hanya pantulan diriku saja, sedangkan mereka bisa melihat dengan jelas siapa yang berada diluar. Entahlah, aku juga tidak tahu mengapa mereka membatasinya seperti itu. Mungkin mereka tidak mau mau dikenal orang lain seperti kami. Mungkin juga karena melihat penampilanku yang apa adanya, kaos dekil banyak tambalan disana-sini, bau keringat, borokan serta wajah yang tak terawat, mereka enggan untuk membuka kaca meskipun hanya beberapa sentimeter saja.
Wajahku yang polos dan kekanak-kanakan seringkali menjadi bahan ejekannya bersama dengan anak-anaknya, seakan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat bahwa ini adalah sebuah fakta dan realita. Mungkin mereka mengira bahwa aku dipaksa untuk bekerja seperti ini oleh preman-preman jalanan atau mungkin mereka menuduh aku anak-anak gelap dari gelandangan atau, aku hanya anak jalanan gadungan yang minta dikasihani. Tapi persetan dengan semua anggapan itu. Ya, mereka bisa saja berbicara tentang aku dan kami karena mereka tidak mengenal kami. Rasa ingin tahupun tidak pernah ada, apalagi rasa ingin mengenal.
Seandainya sewaktu dalam kandungan bunda aku boleh meminta kepada Tuhan, aku akan meminta jangan dilahirkan ditempat dan dalam keadaan seperti ini, mungkin aku bisa duduk dibalik kaca-kaca itu dengan kemewahan-kemewahan didalamnya. Tetapi aku tidak akan mencibirkan bibir kearah teman-temanku. Siapa yang bisa meminta demikian kepada Tuhan. Pasti Tuhan punya rencana yang lebih baik buat aku. Aku tahu betapa kerasnya hidup ini dan aku sebenarnya juga tidak ingin hidup seperti ini. Jika kehidupanku seperti ini terus, pasti banyak yang bilang bahwa kehidupanku tidak normal, perusak keindahan wajah kota atau aku digolongkan sebagai kaum marjinal, seperti yang sering mereka sebut-sebut dan mereka bicarakan. Persetan dengan sebutan itu. Kami pun sudah seringkali dikejar-kejar oleh wajah-wajah beringas dan bersenjata, namun mereka tidak pernah menyediakan tempat baru bagi kami. Mereka sewenang-wenang, tidak berperikemanusian, menelantarkan dan meneror kami, hingga kami tidak lagi beroleh rasa aman, tidurpun tidak bisa nyenyak apalagi mimpi indah. Dan sebagai rekasi bagi kami, kami kembali lagi hidup dijalanan setelah mereka pergi.
Memangnya kehidupan yang normal itu hanya dibalilk kaca-kaca itu? Tidak. Aku rasa kehidupanku normal, yang tidak normal justru mereka yang berada dibalik kaca-kaca itu, seperti dalam peti mati yang dibawahnya diberi pendingin dari es batu bercampur formalin.
Sejak kecil aku diajar hidup dari tutup-tutup botol bekas, menancap pada kayu segenggam ukuran tangan serta panjang dua belas sentimeter dengan paku karatan sepanjang lima centimeter. Suara gemericik tutup-tutup botol itulah yang menjadi guru dan mengajari aku hidup. Aku diajar oleh alam dan bau khas karbondiokasida yang setiap saat juga siap membunuhku. Panas terik sinar matahari sudah aku angkat menjadi ayahandaku sedangkan malam beserta bintang dan bulannya menjadi bundaku. Aku bangga padanya karena mereka selalu datang bergantian, kala siang ayah yang selalu menjagaku dan ketika malam mulai menjelang bunda selalu hadir menidurkanku. Jika aku membutuhkannya mereka berdua, mereka juga akan hadir dikala senja dan fajar. Bukankah gelap selanjutnya menjadi terang, seperti dalam kandungan bunda. Aku menganggap mereka sebagai guru karena selain dia tidak ada yang mengajarkan kehidupan.
Orang yang katanya berpendidikan terkadang malah menjadi musuhku karena mereka tidak mau mengenal aku, lebih ekstrimnya mereka mencoba membunuhku perlahan-lahan dengan sisa-sia korbondioksidanya dikala aku sedang tertidur. Seringkali jika aku melihat mereka, mereka itu terlihat seperti sarimin si kera yang dapat bermain dengan beberapa alat mainan anak. Hiburan kami dikala senja di rumah pak RT.
Setiap malam terkadang aku merindukan bunda tapi aku tidak tahu wajahnya. Aku bingung membentuk dan melukis wajahnya. Terlalu agung buatku. Aku ingin menemukan wajahnya tetapi, setiap kali aku tanyakan pada bulan dan bintang jawabnya pasti, salah satu diantara bintang itu adalah bundamu. Akhirnya aku putus asa mencari dimana bundaku. Mungkin jika bunda tahu bahwa aku diajar oleh alam, bunda akan sedih dan menagis karena tidak bisa menemani dan membimbingku. Akan lebih sedih lagi kalau aku melihat bunda menangis. Aku ingin membahagiakannya supaya senyumannya terus merekah menemani aku, seperti pelukannya diwaktu malam yang sudah menjadi langit-langit kamarku dan asap karbondioksida menjadi selimutku.
Rasa cemburu buatku sudah mati, aku ingin menjadi diriku sendiri dengan menampilkan identitasku. Identitas yang menampilkan kerasnya hidup sebagai anak jalanan. Setiap hari aku melihat anak-anak seusiaku berjalan melewati kami, penuh dengan tawa ceria, berpakaian rapi, semuanya berseragam dan semua itu sudah menjadi pemandangan setiap hari di dekat persimpangan lampu merah. Sebenarnya kami ingin bermain bersama mereka, tetapi tempat itu selalu terkunci dengan kunci besar yang mengkilat menyilaukan mata kala terkena sinar matahari. Seperti kata nyonya-nyonya besar yang melarang anaknya bergaul dengan kami, “Jangan bergaul dengan mereka, mereka tidak pantas menjadi temanmu, carilah teman yang sederajat dengan kita!”
Setiap Senin kami hanya bisa mendengar suara nyanyian lagu Indonesia Raya berkumandang dan pembacaan teks Pancasila dibacakan dengan lantang. Tetapi nyanyian dan teks itu hanya seperti sebuah putaran kaset usang dan nadanya sumbang, mungkin karena yang menyanyi dan yang membacakan masih anak-anak. Meskipun kami hanya bergerombol didepan pintu sekolah yang terkunci, kami senang bahwa lagu dan teks itu tidak terlupakan. Dan setelah nyanyian itu selesai kami berusaha untuk menghafal dan menyanyikannya sendiri untuk kami.
Aku sendiri menyadari, memang kalau mereka menilai kami dari sisi sopan santun, kami masih jauh dari yang diharapkan masyarakat. Mungkin kami tidak memiliki sebuah etiket seperti yang mereka harapkan. Terang saja kami belajar dari alam sedang mereka belajar dari kehidupan yang terdidik. Jika mereka menuntut sopan satun mengapa mereka tidak menghargai kami. Jika mereka menuntut kami berpenampilan rapi mengapa mereka juga tidak mengajari kami. Dan jika mereka menuntut bagaimana supaya kami pantas menjadi teman anak nyonya-nyonya besar itu, mengapa meraka juga tidak membebaskan anak-anak mereka untuk berteman dengan kami. Aku pikir mereka bermulut besar. Jurang itu memang sangat lebar dan dalam, sampai-sampai kami tidak bisa menyeberangi karena tebalnya kabut yang menghalangi pandangan.
Memang tidak semua yang melihat kami selalu mencibirkan bibirnya, ada pula yang kasihan dengan kami. Pernah suatu ketika ada nyonya-nyonya yang baik hati memberikan beberapa potong pakaian, meskipun bekas tapi masih layak pakai. Dengan senang hati aku terima dan sebagian aku bagikan ke teman-teman lain. Apalagi si Ucok, panggilan akrab teman kami. Meskipun Ucok sedikit terganggu jiwanya kami sangat menyanyangi dia. Ucok memang sudah lama bergaul dengan jalanan melebihi kami. Ucok bangga waktu itu, melompat-lompat kegirangan sambil bernyanyi-nyanyi riang, menunjukan pakaian barunya kejalanan. Ya, dari pada dikala sedih dibentur-benturkan kepalanya ketrotoar. Kami senang jika Ucok bernyanyi-nyanyi meskipun suaranya seperti seng yang diseret-seret dari pada mengganggu orang-orang yang sedang lewat.
Namun, setelah memakai pakaian itu aku ingin kembali kepada diriku yang dulu. Aku rindu. Aku justru menjadi sedih karenanya. Aku ingin kembali menampilkan identitasku sebagai anak jalanan, yang benar-benar menampikan ciri khas anak jalanan. Ternyata pakaian yang bagus dan rapi tidak membuat aku bahagia, tetapi justru menjadikan kami kelaparan. Setiap kali aku membunyikan tutup-tutup botol itu disertai dengan nyanyian, mereka hanya melirikku. Tidak lebih dari itu. Aku pernah dalam waktu setengah hari, serupiahpun belum mendapat uang gara-gara memakai pakaian itu. Tetapi sangat berbeda apabila aku memakai pakaian kumal, banyak lubang disana-sini yang sudah menjadi identitasku. Mereka pasti akan memberiku uang receh jauh lebih banyak. Maka setiap kali aku mendapatkan pakaian dari orang-orang yang berderma pasti akan aku jual lagi ke pasar loak dekat stasiun kereta. Lumayan hasilnya, bisa untuk makan beberapa hari. Apa yang aku lakukan dengan menjual pakaian-pakaian itu bukannya aku tidak berterima kasih, tetapi dengan pakaian bagus itu justru memberikan beban yang lebih berat bagi aku. Karena oleh sebagian orang aku akan dipandang sebagai anak jalanan gadungan.
Aku pikir, biarlah aku menjadi anak jalanan sejati, jika ada orang yang beranggapan bahwa aku tidak mau berubah ya biarlah. Aku mencintai pekerjaanku meskipun mereka menganggap aku tidak beda dengan pengemis. Apa bedanya dengan mereka kalau aku menjadi pengemis yang baik. Bukankah yang aku lakukan lebih baik dari pada mencuri.
Aku juga merasa sedih, kala setiap pagi membaca koran yang aku pinjam dari tukang loper dipersimpangan tempat kami mangkal. Orang yang katanya berpendidikan malah sering mencuri. Aku pikir-pikir, ya lebih baik terangan-terangan jadi pengemis saja dari pada jadi pencuri berdasi.
Aku bangga menjadi diriku sendiri, menjadi miskin namun kaya dalam hal tertentu. Dan itu mungkin lebih baik dari pada berlimpah harta namun hanya sedikit yang didermakan. Setiap kali bangun tidur aku harus merasa gembira dengan apa yang ku terima. Dan aku berusaha untuk tidak sedih diwaktu bagun pagi biar seharian aku bisa menikmati hidup dengan penuh kegembiraan.
Malang, 6 Mei 2006
***

anjing dan Raja

KISAH ANJING DAN RAJA

Sebenarnya aku sudah mengakui semua kejadian yang menimpa kemarin siang kepada seorang atasanku, dan memang kalau dihitung secara finansial sangat merugikan perusahaan. Ya, sesuatu yang tidak sengaja dan diluar kendaliku terjadi begitu cepat hingga tak sempat untuk menghindari bahkan melawan kejadian itu. Seekor anjing hitam itu mati, terseret mobilku. Anjing itu tiba-tiba sudah ada di depan mobilku saat aku melintasi jalan raya sewaktu perjalanan pulang dari dinas luar kota. Bagaimana mungkin aku bisa mengelak dari kejadian tersebut. Jarak yang membuat semua itu terjadi begitu dekat, anjing itu berada kurang lebih hanya dua meter di depan mobil yang aku kendarai. Dan hanya selang bebarapa detik kemudian anjing itu sudah ada di bawah mobil. Aku tak tahu persis apa yang terjadi saat anjing itu berada dibawah mobil. Mungkin mobilku menyeretnya hingga menguluti kulitnya. Aku tidak menghiraukan anjing itu, melainkan aku berpikir bahwa ada sesuatu terjadi pada mobilku. Suara derit suatu benda mengiris jauh kedalam telinggaku. Aku mengurangi kecepatan mobil dan berhenti kurang lebih dua ratus meter dari tempat kejadian. Aku mematikan mesin dan sistem pendingin (Air Conditioner). Aku turun memerikasa bagian depan (bemper) mobil. Namun tak ada tanda-tanda kerusakan dan hanya seperti ada bau danging yang yang terbakar. Aku kembali menghidupkan mesin, ternyata tidak terjadi apa-apa. Lalu aku mencoba menghidupkan sistem AC dan lansung saja terdengar bunyi derit yang begitu keras. Dan akhiraanya aku matikan saja sisitem AC-nya. Ternyata akibat benturan dengan anjing itu merusakan bagian kondensor AC. Selanjutnya untuk pulang ke kantor aku tidak menghidupkan sistem AC walaupun cuaca saat itu panas, samapi titik-titik air keluar dari pori-pori kulit.
Bagiku peristiwa itu merupakan suatu pelajaran yang sangat berharga. Manusia tidak akan pernah tahu pasti tentang suatu kejadian yang akan terjadi walaupun itu hanya sedetik.
Nada-nada sumbang mulai diperdengarkan di telingaku setelah kejadian itu. Rock, pop, jass dan dangdut sangat jelas masuk ketelinggaku. Banyak yang medengar dan ikut-ikutan bernyanyi namun tak seindah suara penyanyinya. Ada pula yang hanya menempelkan daun telinga di daun pintu hanya sekedar utuk mendengar.
Hari baru tiba, saat aku sedang ngobrol dengan beberapa orang di pos satpam, aku lihat Pak De berjalan dengan santainya sesaat setelah ia turun dari mobil mewahnya, berjalan seperti orang yang kekenyangan dengan koper di tangan kanannya. Sesaat berhenti sejenak dan menebar seuntai senyum ke arahku sambil meninggikan alisnya. Akupun membalas senyum itu. Ya, hanya senyum yang ada di pagi itu saat aku berpapasan dengannya.
Anginkpun mengiringi senyum itu yang kekuatannya menghantam dan menggetarkan seluruh apa yang ada di sekitar ruangan Pak De. Suara itu jelas terdengar di telingaku, karena ruangan Pak De tidak jauh dari pos satpam. Aku sempat terkejut, namun entah apa yang terjadi didalam aku tidak tahu. Untunglah saat kejadian pagi itu belum ada seorang karyawan datang kecuali aku dan dua orang satpam. Aku juga bersyukur bahwa jantungku masih normal. Paling tidak aku bisa menebak apa yang terjadi di dalam ruangan Pak De. Mungkin masih ada kaitannya dengan peristiwa kematian seekor anjing kemarin siang.
Setelah berlalunya Pak De aku meneruskan berjalan keruang kerjaku melewati lorong yang berukuran satu setengah meter. Jarak ruanganku dengan ruangan Pak De agak jauh kira-kira dua puluh meter. Aku belum tahu banyak tentang Pak De. Siapa Pak De sebenarnya? Yang aku ketahui hanyalah bahwa Pak De adalah orang yang paling berpengaruh di perusahaan ini.
Sambil meletakkan tas yang sudah aku tenteng dari tadi aku mencoba melirik jam dinding yang tertempel di dinding ruang kerjaku. “Oh, ternyata masih pagi, masih pukul 08.00 masih banyak waktu luang pagi ini”. Seperti bisa aku datang paling awal diantara teman-teman sekerjaku. Sesaat aku terdiam, segera membuka-buka agenda kerja dengan menggris bawahi daftar pekerjaan penting yang akan aku lakukan.
Hujanpun tiba-tiba turun dengan derasnya bersama tiupan angin dingin yang membawa butiran air masuk ruangan, melewati jendela nako yang ada di samping meja kerjaku. Sebelum butiran-butiran air masuk terlalu banyak aku segera menahannya dengan menutup jendela nako yang ada disebelahku.
Beberapa saat setelah aku menutup jendela nako, sudah mulai terdengar langkah-langkah kaki bersepatu yang semakin lama semakin keras dan semakin banyak melewati lorong lorong ruangan dan akhirnya sunyi. Sambil mataku melirik ke arah jarum jam, “ ternyata sudah pukul 09.00 ”, rekan-rekan kerjaku sudah mulai berdatangan dan memasuki ruang kerjanya masing-masing. Sebentar suasana menjadi sunyi, karena biasanya setelah jam masuk ada briefing oleh kepala bagian.
Sayup-sayup mulai aku dengar lagi dari dalam ruangan, entah suara dari radio, tape, tv atau multimedia lain. Rock, pop, jass, dangdut, itu lagi yang aku dengar dari dalam ruagan kerjaku. Aku mencoba menutp telingga namun suara itu malah merasuki pikiranku dan menjalar melalui saraf-saraf hingga menuju ujung rambut. Panas sekujur tubuhku akibat dari sistem peredaran darah yang tidak normal, kemudian juga mengalir ke dalam sumsum tulang-tulangku. Entanh mengapa aku benci dengan suara itu hingga memporak porandakan pikiranku. Namun sepertinya mereka menikmati irama musik itu, karena aku lihat ada menggeleng-gelengkan kepala ke kiri dan kekanan sambil mengoyang-goyangkan badannya. Ada pula yang berjalan sambil menggoyang-goyangkan pantatnya. “Ini kantor apa pasar” kataku dalam hati.
Mendadak suasana menjadi sunyi, sepi tak ada suara apapun bahkan hujanpun reda dan anginpun beristirahat karena kelelahan. Anehnya, untuk menggetarkan pita suarapun terasa berat, rasanya seperti baru makan lem dan berhenti di sela-selanya.
Rasa penasaran mulai muncul dari pikiranku dengan apa yang terjadi, yang menjadikan semua sunyi, sepi. Aku melangkah keluar ruangan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Aku sendirian berdiri di depan pintu. Aku hanya melihat rekan-rekan kerjaku sudah bediri berjajar rapi, seperti mau ada rombongan peresiden pawai. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku biarkan saja diriku tetap berdiri sendiri di depan pintu. Sesat terdengar ada langkah kaki bersepatu yang semakin lama semakin dekat. Dan yang bisa kulakuakan saat itu hanya menerka-nerka kemungkinan yang akan terjadi. Saat aku sedang bermain dengan pikiranku mendadak dari balik pintu lorong Pak De muncul, berjalan santai seakan membawa beban berat karena tinggi badan dan beratnya tidak proporsional. Hingga aku tak sadar sampai lupa mengedipkan mata saat melihat kemunculan Pak De. Wajah Pak De memancarkan aura yang besar hingga bisa menundukkan wajah dan memejamkan mata orang lain yang menatapnya.
Bagaikan sorang raja yang baru keluar dari tempat peraduan Pak De berjalan ditengah-tengah rakyat jelata dan diringai oleh dayang-dayang istana. Semua rekan kerjaku tanpa terkecuali memberi hormat sambil membungkukkan badan. Seperti cara orang Jepang memberi hormat, semakin membukuk semakin hormat. “Beginikah cara menghormati orang lain di negeri ini?”
Sementara aku tetap berdiri di dapan pintu ruang kerjaku tanpa bergeser sedikitpun. Tanpa mengingkuti berbaris seperti yang dilakukan rekan-rekan kerjaku. Sekarang tiba giliranku, Pak De akan berjalan melewatiku. Ada pertentangan dalam batinku tentang sebuah kalimat, “ dimana bumi di pijak disitu pula langit harus di junjung”. Setelah bermain-maun dengan kalimat itu, ternyata aku harus tetap berpegang pada perinsipku senndiri “bumiku bukan bumimu dan langitku bukan langitmu”, jadi aku hanya menginjak bumi dan menjunjung langitku karena aku tidak mungkin menginjak bumimu dan menjunjung langitmu.
Sekarang Pak De sudah berada tepat di depanku untuk lewat, aku tidak memberi hormat seperti yang dilakukan rekan-rekan kerjaku bahkan aku malah menatap wajahnya. Pak De hanya tersenyum saat lewat di depanku, seuntai senyum juga aku membalasnya. Dan selanjutnya setelah iring-iringan itu berlalu kami kembali bekerja sebagaimana mestinya.
Jam kantor hanya sampai pukul 17.00 dan hujan masih menyisakan kejayaannya. Aku melanglah ke gerbang kantor. “Bang! Becak bang”, aku mengundang abang becak yang ada di seberang jalan. Becakpun menyeberang jalan menuju tempatku berdiri. Aku segera menaikinya dan dibungkus dengan plastik transparan.
Dalam perjalanan pulang aku masih sempat memikirkan siapa Pak De sebenarnya. Siapakah dia? Betapa besar pengaruhnya di perusahaan? Siapa yang menjadikannya raja? Dan bijaksanakah dia? Sampailah juga pikiranku berujung pada kisah seekor anjing yang sampai kini masih membayangiku dan mengganggu pikiran serta jiwaku. Aku dihantui rasa tidak tahu, yang selalu mengiringiku. Aku ingin suatu kepastian akhir dari sebuah kisah, tentang kejadian dengan seekor anjing yang sudah mati. Mungkin ini hanya fantasiku belaka, bermain dengan pikiran-pikiranku sendiri yang mungkin tidak bermutu bahkan tidak mempunyai makna dan arti.
Kurang lebih sepuluh menit aku sudah tiba di tempat kost dan bungkus plastikpun dibuka. Sambil memberikan beberapa uang ribuan aku turun dari becak dan melangkah ke kamar kost. Segera aku membuka pintu dan melemparkan tas kerjaku ke meja serta menghempaskan tubuhku ke kasur busa berseprei putih. Aku terlelap. Aku terbangun saat ibu kost membangunkanku dan meeberikan sepucuk surat dari bunda. Aku segera membuka surat itu. Ternyata isinya hanya menanyakan kabarku saat ini. Karena bunda mempunyai firasat yang kurang baik dan bunda akan selalu mendoakan aku. Begitu isi suratnya, ringkas. Selesai membaca surat, aku segera melangkah ke kamar mandi menenteng handuk kecil di tangan kiriku.
Hand phone ku berdering bersahut-sahutan dengan suara perutku, aku segera mengangkatnya namun penelpon segera mematikannya. Ternyata hanya orang iseng yang kurang kerjaan, nomor hand phone-nya juga disembunyikan. Aku tak menghiraukannya. Aku segera keluar kamar, melangkah keseberang jalan menuju warung tenda bakmi jawa untuk memenuhi kebutuhan perut yang dari tadi sudah berdemonstrasi. Aku memesan satu peorsi bakmi basah pakai telor bebek plus es jeruk. Sambil menunggu pesanan datang aku membaca sebuah koran harian sore ibu kota. Aku sedikit mengerutkan dahi dan menajamkan pendengaranku saat dua orang yang duduk disebelahku menyebut-nyebut nama Pak De . Aku mencoba mendekati mereka dengan pura-pura membetulkan tempat duduk, sambil mengeser lebih dekat. Banyak juga informasi yang aku dapat dari orang itu. Namun kebenarannya juga perlu aku pertimbangkan dan pikirkan, karena mereka melihat dari sudut pandang yang berbeda. Bertolak belakang dengan Pak De yang aku tahu dari rekan-rekan kerjaku.
Pesananku tiba, aku segera menyantapnya sambil masih mendengarkan orang disebelahku memebicarakan Pak De. Entah mengapa mereka begitu antusias membicarakannya.
Kusudahi pula acara untuk menyenagkan lidah dan perutku. Aku kembali pulang menyeberangi jalan dan masuk ke kamar kost.
Dalam malam menjelang tidur aku sempat memikirkan Pak De. Dan tambah satu hal lagi yang baru aku ketahui, ternyata Pak De bukanlah orang pemilik perusahaan itu, melainkan hanya orang kepercayaan dari seorang yang lebih berkuasa. Siapa orang yang lebih berkuasa itu, aku masih belum tahu. Aku berharap suatu saat akan mengetahuinya dengan berjalannya waktu.
Dengan bertambahnya informasiku tentang Pak De, aku juga berfikir mengapa rekan-rekan sekerjaku mengganggap dia raja. Yang selalu dihormati dan disegani, bahkan menatap sepasang matanyapun tidak berani. Mungkin apa aku yang tidak memiliki sopan santun ala negeri ini. Memang kultur budaya dan adat istiadat di tempatku berbeda dengan negeri ini walaupun tidak semuanya.
Pesta Hari ulang tahun perusahaan tiba. Karena usia perusahaan yang sudah puluhan tahun pestanyapun dibuat meriah. Perusahaan ini memang sudah dikenal cukup luas baik di dalam negeri maupun luar negeri.. Para panitia juga tidak lupa mengundang beberapa media massa untuk meliput acara tersebut. Desain panggung di set seperti saat konsernya grup musik kantata taqwa. Pokoknya meriah sekali, dan baru kali ini aku merasakan dan mengalami acara ulang tahun perusahaan besar sebesar ini..
Dengan berlangsungnya acara ulang tahun itu sebenarnya aku berharap aku bisa mendapat informasi yang banyak tentang Pak De. Perkiraan ku tidak meleset. Ternyata benar, aku sekarang sungguh-sungguh tahu tentang siapa sebenarnya Pak De. Dan mengapa dia dianggap sebagai raja?
Sekarang muncul lagi pertanyaan dalam pikiranku, “bijaksanakah Pak De?” “Apakah ia akan lebih bijaksana bila dibandingkan dengan seekor anjing yang telah mati terseret mobilku?”

Yk,01/05/06
* * *

Saturday, November 3, 2007

Nyanyian Katak

Gerimis,
nyanyian katak mulai berkasi
ketika titik-titik air hujan mulai jatuh
mungkin ia mengaduh,
sampai suaranya menggaung
lalu ada cahaya menghampirinya
ia terjepit dalam keranjang
dan ia mati dalam himpitan
bersama temannya

03/11/07