Monday, December 31, 2007

RAJA AIR

Kemarin sudah tiada, beberapa jam yang lalu sudah tiada

Beberapa menit yang lalu juga menghilang

Dan detikpun tertinggal

Kini, yang ada hanya sekarang…

Percuma besok kita pikirkan karena besok belum ada,

Sekarang yang ada.

Menikmati yang sekarang bagiku jauh lebih baik.

Hidup itu mengalir seperti aliran sungai, menuruni mata airnya sendiri dari puncak gunung

Aku merasa hidup seperti itu, setelah bertemu di lautan yang luas baru akan terasa,

oh, betapa kecilnya aku!

Aku menyadari segala kekuranganku diantara banyaknya air

Lalu apa yang aku banggakan?

Airpun berubah menjadi jernih, bagaikan Kristal ditengah samudra yang terkena tamparan sinar

Tetapi sungguh malang air yang masih di bibir pantai, kotor, bau dan tersingkir

Raja air menari-nari ditengah samudra

Jernihnya bagaikan Kristal yang diasah jutaan malaikat

Raja air berkuasa atas bumi,

Bahkan manusia menjadi budaknya

Aku berusaha menjuhi bibir pantai

Supaya raja air mengajaku menari

Terkadang aku gagal mendekat saat badai menghempaskanku

Menjauhkan kembali dengan raja air

Tiap hari aku berdoa

Biar samudra itu tenang

Namun sia-sia

"Jika tanpa rintangan bagaimana kamu bisa menarik perhatianku" raja air marah

Aku terus berusaha mengarunginya

Meskipun hempasan ombak terkadang menendangku berkali-kali

Saat aku terhempas dan tenggelam

Aku melihat kunang-kunang di tengah samudra

Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?

Kunang-kunang itu menariku keatas

Hingga aku terapung kembali

Tetapi aku bangga, bisa berusaha mendekat ke raja air

Memandang wajahnya terkadang aku tidak pantas

Tapi aku ingin menari

Dan aku berharap suatu saat aku juga menjadi raja air

Karena ada damai ditengah samudra

31/12/2007 <dalam refleksi akhir tahun>

Friday, December 28, 2007

BUKAN KARENA AKU

BUKAN KARENA AKU


Aku ada sebelum kamu dijadikan

Dan aku berkuasa atasmu

Namun kamu tidak pantas diberi kuasa

Kamu serakah, meskipun diberi kuasa

Karena yang ada hanya kepentingan

Otakmu kotor

Penuh dengan kepalsuan, iri dan dengki

Itu sebabnya kamu kotor

Aku selalu dijadikan kambing hitam

Padahal kamu tahu bagaimana aku hidup

Sifatku, kamu tahu sejak usia lima tahun

Biarlah aku yang menanggung segala hujatan

Namun kamu harus mau menjadi korban

Aku tidak menginginkan kamu mati namun,

Kamu sendiri yang mendatangi kematia

Aku ingin bersahabat denganmu…

Emm… seandainya aku bisa ngomong

Aku akan berteriak dan menagis setiap hari

Akan kudengungkan kepada setiap telinga yang mendengar

Akan kucongkel semua mata yang melihat

Akan tetapi, aku hanya bisa kamu lihat

Ketika semuanya sudah hancur

Dan kamu menjadi korban

Aku menagis

Saat kamu menangis

Aku bahagia

Saat kamu gembira

Matamu biar melihat bagaimana aku berbicara

Dan telingamu tidak akan bisa mendengar saat aku datang

Semauku, siang, malam, saat kamu terlelap maupun terjaga

Sifatku tidak bisa aku ubah kecuali dari atas

Aku mohon, pahami aku sampai kamu benar-benar mengenalku

Maka semuanya akan menjadi indah…

28/12.2007 <dalam refleksi dengan air>

Thursday, December 27, 2007

SEPERTI ANAK KECIL

SEPERTI ANAK KECIL


Malam Natal kemarin berselimut air


Andaikan saja kenikmatan dibalik selimut itu ada


Aku pasti ada di bawahnya,


Namun suara tawa gadis kecil itu menyemangatiku


Aku bangkit berlari menembus hujan


Suara lonceng segera berdentang


Pukul 00.00 aku pecah sunyi


Gadis kecil melangkah sambil tertawa


Mendekati altar yang berwarna putih


Aku terpaku memandangnya,


saat sang pastor menampar pipinya


Gadis kecil itu tersenyum


Ia tertawa dan tersenyum kembali


Memberikan pipinya yang sebelah


"Oh, Tuhan Engkau sungguh hadir di malam Natal ini"


27/12/2007 <dalam refleksi betapa besarnya cinta Tuhan>



BANGKIT

BANGKIT


Dalam temaran lampu kabut alun-alun kota Bondowoso cak Jo bercanda dengan anak dan istrinya. Ya, meskipun hanya menjual minuman hangat tampak ada keakraban. Baru tiga bulan cak Jo pindah di kota Bondowoso yang jauh dari kebisingan kota besar seperti Surabaya. Dulu cak Jo memang tinggal di Sidoarjo, namun karena tempat usahanya di wilayah Porong leyap dalam beberapa hari ia memutuskan untuk meninggalkan kota tercintanya demi mempertahankan hidup. Usahanya yang ia rintis sejak puluhan tahun telah lenyap ditelan lumpur. Lumpur bercampur bau belerang itu sungguh menyegat kehidupannya. Entah, sampai kapan lumpur itu berhenti, tidak akan nada yang tahu. Entah disengaja atau tidak, semburan lumpur itu juga tidak ada yang tahu. Namun semua itu sudah terjadi, lantas mau dibilang apa? Protespun juga perscuma. Rakyat memang seperti lalat, tidak punya kuasa atas tahta.

Rajapun hanya tersenyum diatas tahta, melihat kehidupan kami yang nyaris mati. Kami menyesal memilih raja seandainya tahu kalau keadaannya seperti ini. Meskipun punya kuasa namun tidak memiliki kuasa atas kehidupan kami. Kami akhirnya tersingkir mempertahankan kehidupan dengan cara kami sediri. Mungkin suatu saat para calon penguasa Negara ini juga akan berusaha membeli suara kami. Tapi maaf, suara kami mungkin akan menjadi bisu dan telinga kami akan menjadi tuli. Lidah kami tidak akan mampu bergetar mengelu-elukan sewaktu raja belum bertahta.

Lalu apa arti demokrasi yang selalu di dengung-dengungkan di telinga kami setiap lima tahun sekali. Demokrasi maaf, "tai asu", hanyalah alat untuk membohongi kami. Buktinya kalau sudah jadi raja lupa pada kami. Kami memang tidak punya kuasa namun kami punya hati nurani dan rasa. Sedangkan raja, hanya punya kuasa.

Kini kami salah satu dari yang tersingkir dan mencoba bangkit dari calon kematian. Dewa pencabut nyawa juga enggan mendatangi kami karena kami masih punya harapan untuk hidup. Bukan sekedar hidup, tapi juga ingin melihat kematian sang raja. Entah raja apa saja; raja minyak, raja sayur, raja kayu, maupun raja gombal.

Biarkan kami tetap hidup meskipun hari ini sudah berakhir. Kami berharap esok masih ada hari yang baru untuk mencari kehidupan yang kami mau. Kami yakin suatu saat kami juga akan menjadi raja; entah raja judi, raja ayam, raja hutan, raja kecil atau maaf, raja singa.

<cak jo-bondowoso 21/12.07> dalam temaram lampu kabut di alun-alun kota.

Friday, December 21, 2007

Lonceng

Dentang lonceng kudengar sepuluh meter dari sumber suara

Lirik lagu "get merried" luluh dengan suara dentang

Aku sejenak berhenti bermain kata

Menggaruk rambut kepala

Aduh! Ada dosa di otakku

Saat hati berperang melawannya

Suara dering hp berbunyi

Mengakhiri detang

Aku termangu

Sejenak sunyi dalam tobat

Bondowoso, 21/12/07

Saat senja di pastoran

Tuesday, December 18, 2007

ASU SU!

Gerimis mengiringi perjalanan ke tempat kerjaku, pagi itu. Badanku masih terasa letih karena semalaman sampai larut menyelesaikan rutinitas pekerjaanku, apalagi aku baru pulang dari luar kota. Mataku masih tampak lebam karena kurang tidur sedang rambutku telihat agak berantakan karena belum aku rapikan dan sedikit pengaruh dari model baru rambutku. Badanku juga masih terasa meriang, mungkin pengaruh kurang tidur. DUARRR! DUARRR! Kialatan cahaya bersamaan dengan suara halilintar memekakkan telingaku. Asu! Diancok! Sepontan umpatan kata itu keluar dari mulutku. Seketika aku menghentikan langkahku, kutatap ke langit sambil kucondongkan badanku. Aku menatap lagi langit sambil berkacak pinggang, namun yang kudengar hanya suaranya saja yang gaduh. Dalam batin aku hanya bertanya. “Kakean gludug ora sido udan, su!” (hanya suara petir yang keras tapi tidak jadi hujan)

Sebenarnya aku ingin menantang kamu. Tapi itu tidak mungkin aku lakukan. Kamu jauh ada diatas saat mendung mulai bersenandung, sedang aku tidak punya sayap. Panahku pun tidak bisa menjangkau karena engkau selalu bersahabat dengan mendung. Aku harus menyingkirkan mendung bila ingin menjatuhkamu dari awan.

Bagiku, petir pagi itu sombong. Mungkin dalam hati ia tertawa karena telah membuatku terkejut. Mungkin ia pikir aku takut berjalan karena sewaktu-waktu ia bisa menyambar rambutku hingga menghitamkan kulitku. Sama sekali aku tidak takut petir, bukan berarti aku membela diri. Aku hanya menghargai keAgungan yang Maha Kuasa karena telah menciptakannya sedemikian rupa. Bukannya aku tidak mau mencaci maki karena aku pikir petir itu justru sangat rapuh. Kilatannya yang putih dan tajam, serta suaranya yang kadang menggelegar bagiku justru menutupi kerapuhannya. Maaf, bukan berarti aku meremehkan karya ciptaanMu. Tetapi mengapa dia sendiri masih belagak kuat jika sesungguhnya rapuh.

Aku kasihan terhadapmu, saat suara gaduhmu menggelegar aku hanya tertawa, maaf! karena aku sudah sedikit banyak tahu siapa kamu.
Petir hanyalah petir tidak bisa menjadi mendung yang menghasilkan hujan
Petir hanyalah petir tidak bisa menjadi rasa yang menghasilkan warna
Petir hanyalah petir tidak bisa menjadi kuat yang menghasilkan bijaksana
Petir hanyalah petir tidak bisa menjadi terang yang menghasilkan damai
Petir hanyalah petir, aku berharap hanya menjadi warna

Malang, 17/12/07
Disela waktu dalam tanya jawab doa

Sunday, December 16, 2007

Aku dan Dirimu

Suatu hari aku bertemu dengan dia, tanpa sengaja. Entah! hingga sekarang aku tidak bisa melupakannya. Perlahan rasa sayang itu ada hingga menyelimuti hatiku. Buatku, pertemuan itu hal yang biasa, namun pertemuan dengan dia tidak biasa. Mataku hanya bisa memandang, terpaku dikelopak matanya dan hatiku terdiam seakan berada dibalik jeruji besi.

Semakin lama aku mengenalnya membuat rutinitas hidupku menjadi tambah teratur. Aku semakin tahu arah dan tujuanku di masa yang akan datang. Tentang cita-cita yang selama ini tidak begitu aku hiraukan, kini semakin jelas meskipun belum semuanya dapat aku sentuh.

Suatu saat aku berharap dapat melihat masa depanku dengan jelas. Tentang kebahagian yang aku pikir hanya semu, ternyata ada dalam diriku. Sekarang aku tidak perlu mencari kebahagiaan itu lagi, karena semua itu sudah ada sebelum semua yang aku pikir ada.

Buat cinta, makasih udah menyetuh hatiku.

Tengkyu God