Monday, October 6, 2008

Trend Novel Religi

Setelah meledaknya novel terjemahan, The Da Vinci Code karya Dan Brown yang diterbitkan oleh penerbit serambi pada Juni 2004 dapat dikatakan sebagai awal trend novel kontroversi. Pro maupun kontra langsung bertebaran di segala belahan dunia. Salah satu penerbit Indonesia yang meng-counter ketidak benaran dari novel karya Dan Brown adalah penerbit Dioma, dengan menerbitkan sebuah buku berjudul The Da Vinci Hoax. Faktanya pada saat itu, dalam industry buku, buku-buku yang kontroversi justru mendapatkan tempat di pasar. Akibatnya banyak dari penerbit-penerbit lain yang menjadi follower trend yang diminati pasar. Buku The Da Vinci Hoax juga numpang tenar karena judulnya mengcounter The Da Vinci Code. Mana yang benar, para pembaca terkadang dibuat binggung oleh karya-karya yang kontroversi ini sehingga tidak menutup kemungkinan banyak pembaca yang terpengaruh dan mencari kebenaran menurut persepsi pembaca.

Setelah pasar jenuh dengan buku novel yang kontroversi kini trend buku novel kembali menemukan nafas baru. Bukan lagi sebuah novel yang bisa menimbulkan permusuhan, melainkan trend baru yang sifatnya lebih ke religious. Siapa penerbit yang memelopori dalam membuat trend baru ini? Belum ada survey. Faktanya, kita bisa menemukan judul-judul novel tersebut di toko buku Gramedia dan selalu mendapat tempat di display buku best seller yang diminati pasar. Sebagai pelopor dari trend buku novel religious adalah novel berjudul Ayat-Ayat Cinta (penerbit Republika), disamping itu ada buku-buku lain; Cintamu Setulus Samudra (Mizan), A Thousand Splendid Suns
dan masih banyak lagi judul-judul yang berkategori religious.

Lalu, selanjutnya trend buku novel apalagi yang akan diminati pasar dalam industy buku? Kita hanya bisa menunggu apa yang akan dimaui pasar atau kita akan menciptakan sebuah trend baru? .

Kok Jadi Buku Obral!

Ketika saya berkunjung ke Yogyakarta dalam agenda kerja saya. Saya menyempatkan mampir dalam sebuah event book fair yang bisa dibilang berskala nasional, yang pasti lebih dari 100 penerbit yang mengikuti. Dari berbagai acara yang tertera pada banner di pintu masuk dari tahun ketahun tidak ada yang berubah, seperti yang selalu saya lihat di event-event sebelumnya, mulai dari “Jumpa pengarang”,” Talk Show”, “Bedah Buku”, “Workshop seputar jurnalistik, komputer dan karya tulis”, “Lomba Menggambar”, “Lomba Mewarnai”, selalu menghiasi papan acara dipintu masuk. Apa menariknya jika acara yang disajikan monoton setiap tahunnya? Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang paling sering mengadakan “pameran buku”. Banyak EO (event organizer) seperti buka buku production, shaka organizer dll yang berlomba untuk mengadakan event, meskipun ada juga yang hanya sebuah EO dadakan. Ya, itung-itung bagi bagi rejeki lah J.

Lalu apa yang menarik dari acara semacam ini, yang digelar berulang kali hingga setahun bisa mengadakan event pameran sampai 6 kali. Salah satu yang menarik adalah kita lupa akan kemampuan produksi dan kapasitas produksi dari suatu produk yang kita hasilkan. Bertumbuhnya pemain-pemain baru dalam dunia penerbitan tidak bisa kita pungkiri karena sudah menjadi trend di Indonesia, kita selalu ingin mengikuti jika orang lain sukses dalam bisnisnya. Seringnya pameran buku baik yang bersifat local maupun nasional merupakan fakta bahwa pengusaha penerbitan buku kurang memperhitungkan space market/daya tampung pasar,
yang akhirnya kita kebinggungan untuk menjualnya.
Menariknya ada sebuah stand yang hanya membiarkan koleksi buku-bukunya berserakan di stand tanpa didislpay. Hanya dijual dengan empat harga, yaitu; Rp 5.000,- Rp 10.000,- Rp 15.000,- Rp 20.000,- siapa yang tidak tertarik dengan harga semuarah itu, padahal kalau kita cek harga di toko buku Gramedia atau Toga Mas jauh lebih mahal. Apakah akhirnya, yang sering disebut-sebut dengan karya intelektual harus bernasib di sebuah stand pameran buku obral?

Estetika, mungkin bagi sebagian penerbit sudah melupakan dalam mendesain stand, meskipun ada beberapa penerbit besar yang tetap memertahankan estetika stand karena image perusahaan. Stand dibuat semenarik mungkin menurut ukuran kantong, banyak juga tulisan obral bergantungan di masing-masing stand. Ada yang menuliskan diskon gede-gedean hingga 70%, ada yang langsung menuliskan Cuma Rp 5000, aja, ada pula yang hanya menuliskan diskon 10% dan masih banyak kreativitas menulis lainnya,
yang lebih ekstrim lagi ada sebuah stand dengan sengaja menyebar hasil karya intelektual ini ke lantai stand, seperti yang dilakukan oleh Yusuf Agency.

Didalam tulisan ini saya mencoba untuk mencari beberapa factor yang kemungkinan memengaruhi mengapa penjualan buku, khususnya di Indonesia banyak yang masuk dalam kategori buku obral.

1. Tidak ada servey pasar. Ini jelas sekali sering diabaikan oleh pihak penerbit karena bagian produksi buku (redaksi) merasa pandai/merasa intelek dalam memilih buku yang diprediksi akan laku dijual di pasar. Namun justru pasar berbicara lain, setalah buku terbit malah tidak ada buku yang terjual.
2. Kurangan pengetahuan bisnis bagi bagian produksi (redaksi) dalam memilih naskah yang market oriented, sehingga hanya karena menurut kata hati saja sebuah buku akan diterbitkan.
3. Tidak tersegment dengan tepat.Seharusnya sebuah buku ketika masih embrio bagian produksi sudah harus tahu segmen pasar apa yang nantinya harus di bidik. Bukan sebaliknya mensegmentasi pasar setelah buku itu siap didistribusi. J
4. Judul Buku Yang “Ngawur”. Jangan Asal Menarik menurut persepsi desainer. Judul buku tidal asal bunyi. Maksimal hanya lima sampai enam kata. Contoh, buku best seller nasional karya Tung Desem Waringin berjudul The Financial Revolution, Cuma ada dua kata saja. Tidak ada kata dalam pembuatan judul buku. Factor lain yang memengaruhi adalah ketidaksesuaian antara isi dan judul buku. Ini akan berpengaruh terhadap konsumen karena merasa dirugikan.
5. Timing distribusi tidak tepat. Moment-moment penting dalam me-launching buku juga perlu dipertimbangkan karena pasar sendiri yang membuat trend.
6. Distribusi yang tidak merata. Sudah susah payah beriklan/berkampaye, penyebaran buku tidak merata. Ini salah satu bagian yang juga tidak bisa diabaikan karena perencanaan yang kita buat kurang matang. Seharusnya sejak awal kita sudah tahu kemana saja sebuah buku akan didistribusikan. Bukannya buku sudah jadi baru kita memikirkan penyebarannya.
7. Tidak Melakukan Book Campaign Book Campaign sangat perlu karena salah satu cara untuk mengenalkan sebuah buku ke konsumen, meskipun misalnya harus menggunakan cara seperti road show dan jumpa pengarang dengan mennggandeng artis/public figure.
8. Mengabaian Desain Cover. Sama dengan “ngawur/asal-asalan dalam mendesain cover buku sangat berdampak pada penjualan buku itu sendiri. Mestinya buku yang bagus otomatis bisa menjual dirinya sendiri tetapi karena cover yang dibuat asal-asalan tadi justru membuat masuk dalam kategori buku obral.
9. Kualitas cetak dan jilid. Nah… ini juga salah satu yang paling fatal. Font, colour, theme, spasi dll serta kekuatan lem jilid sangat berpengaruh terhadap konsumen. Terkadang kualitas cetak dan jilid ini menjadi prioritas yang kesekian sehingga kurang begitu terkontrol. Dampaknya konsumen akan menanggung kecewa.Dll. Masih banyak yang lainnya
10. …
11. Semoga bermanfaat

Ke-Inggris Ingrisan, Biar Keren gitu Loh!

Suatu saat saya pergi kesebuah toko buku terbesar di kota Malang. Saat saya mengamati segerombol remaja yang mengelilingi floor display buku novel remaja ada sesuatu yang menarik. Saya mencoba mendekati bertaya kepada salah satu dari mereka, “dik, lagi pilih buku apa?”

lalu dia menjawab, “Oh, ini lho mas, cari novel remaja, pengarangnya adalah teman satu kelas kami.”

“Wah, pasti pintar ya temanmu bias nulis buku pakai bahasa Inggris.” Sahutku, sambil aku lirik buku yang dia pegang.

“Ya enggak lah! Ini kan hanya judulnya aja mas yang pake bahasa Inggris. Isinya pake bahasa Indonesia kok.” Salah satu dari mereka menimpali.

“Biar keInggris Inggrisan gitu loh!” salah satu dari mereka menyahut. :)

Suatu peristiwa yang sangat menarik untuk kita cermati, bahwa permainan bahasa merupakan salah satu faktor penting untuk menilai sukses tidaknya dalam penjualan buku. Seandainya buku itu berjudul “apakah Itu Cinta?” mungkin tidak akan pernah menarik/dilirik oleh para remaja, meskipun sudah terpajang apik di display buku. Lain cerita jika kita menuliskan kedalam bahasa Inggris dengan “What Is Love?” pasti para remaja/ABG akan melirik dan mungkin sampai membelinya. Ke-Inggris Inggrisan inilah yang sudah menjamur dan semakin marak di Indonesia. Fakta, di toko buku sudah jelas, berapa banyak buku yang diterbitakan oleh penerbit lokal/penerbit dari Indonesia sendiri yang memakai kata dalam bahasa Inggris. Bahkan buku best seller di Indonesia yang memecahkan rekor MURI sebagai buku local terlaris yang terjual sebayak 10511 eksemplar sehari memakai kata dalam bahasa Inggris. Masih ingatkah buku yang di tulis oleh Tung Desem Waringin berjudul Finacial Revolution, Ini adalah sebuah fakta, dan sulit untuk membendungnya.

Pergeseran bahasa memang tidak bisa kita bendung begitu saja. Sebagai contoh, kita harus mencintai produk Indonesia. Apakah semudah itu? Justru semakin banyak orang yang mencintai produk dari luar negeri, tentu dengan berbagai alasan. Mungkin karena kualitasnya lebih bagus jika dibanding dengan produk dalam negeri atau seribu alasan lain.

Kita perlu waktu untuk berproses menjadi diri kita sendiri, untuk mencintai diri kita sendiri, apalagi mencintai produk kita sendiri atau bangga pada diri kita sendiri. Bagi kita permainan bahasa tidaklah penting, yang terpenting adalah manfaat dari apa yang kita pelajari lewat media, baik cetak maupun elektronik. Tentunya, apa yang kita dapat dari sebuah fakta adalah untuk semakin mendewasakan pola pikir kita.

Thursday, June 5, 2008

journey

Dalam teriakan pemimpin kami berperang. Perang yang tidak pernah kami rindukan sebelumnya. Kami bagaikan sepasukan pasukan khusus membelah belantara, menyusuri jalan setapak atau bahkan membuat jalan baru. Kami bergabung menjadi sebuah team, team yang harapannya mampu untuk menyamakan persepsi dan menghargai pendapat satu sama lain. Tetapi teori tidak seperti kenyataan, bahkan kami juga saling memaki selama menjalankan tugas unmtuk mencapai tujuan. Kami tidak diberi nama yang lazim seperti nama para pemimpin kami. Nama-nama kami hanya sebuah sandi-sandi yang hanya diketahui oleh para pemimpin kami. Badak hitam, hiu tutul, macan tutul, elang hitam, itu nama-nama dari sandi kami. Masing-masing personil pasukan kami memiliki keahlian. Jika kami dihadapkan pada alam pasti pasukan kami bisa bekerja sama untuk memecahkan hambatan selama perjalanan. Pasukan kami dibuat garang supaya bisa membunuh pasukan lawan. Kami diajari cara membunuh, baik dengan senjata maupun tanpa senjata.

Perjalanan, bagiku sama dengan sebuah perang yang memiliki misi khusus atau pribadi. Sebuah impian yang mungkin selama ini hanya aku gantungkan saja. Untuk mewujudkannya aku tidak mungkin bisa sendiri. Keluarga, orang yang kucintai, selalu ada didalam dan selama perjalananku. Aku bahagia bisa mengingat satu-persatu orang-orang yang aku cintai, karena dengan getaran-getaran doa yang keluar dari bibir-bibir mungil itu bisa menyemagati perjalananku.

Terkadang aku juga malu, malu kepada diriku sendiri. Saat aku bermain dengan mainanku justru aku melupakan orang-orang yang aku cintai. Aku tersadar saat ketika doa-doa mereka menampar telinggaku hingga meluluhkan kerasnya hatiku. Mereka tahu jika amarahku datang doa-doa itu justru mampu meredakan amarahku. Mereka tidak akan sama-sama emosi meluapkan amarahnya, namun justru dengan kelemah lembutan mereka mampu membisikan kata-kata yang lembut untuk membunuh emosiku.

Aku cemburu karena aku tidak mampu seperti mereka, yang bisa membuat orang yang aku cintai merasa bahagia sedang aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sadar aku banyak memiliki kekuarangan, kekurangan yang harus aku tambal sedikit demi sedikit sehingga mampu mengurangi kekuranganku. Kelebihanku, justru aku tidak bisa mengukur, orang lain saja yang menilai. Aku tidak mau menjadi sombong karena aku sudah merasa lebih, sebaliknya jika itu terjadi justru semakin banyaklah kekuranganku. Karena cemburu itu bagian dari cinta, maka aku sangat mensyukurinya.

Sepulang dari jakarta awal juni 08

Tuesday, April 1, 2008

CANTHING

Pagi itu indah, langit terlihat lembayung tanpa mendung, di ufuk timur, hanya sebaris mega sebagai ornamen. Pun burung pipit berdendang menyanyikan pagi sebagai ucapan syukur. Dari halaman samping rumah bermodel joglo terdengar gesekan sapu lidi dengan tanah yang bersuara konstan. Aku terbangun meskipun dingin masih menyelimuti. Wajah tidurku masih melekat ketika aku membuka jendela kamar. Udara pagi segera berhamburan masuk ke ruangan berukuran empat kali empat meter persegi menggantikan udara pengap semalam. Segera aku menoleh keasal suara.
“Pagi eyang.” Sambil kulambaikan tangan kananku.
Sejenak suara gesekan lidi dengan tanah berganti sunyi, eyang puteri menoleh ke arahku. Hanya lambaian tangan yang membalas, sepertinya bibir eyang enggan bergetar. Lalu suara gesekan lidi itu kembali terdengar.

Aku segera melangkah ke tempat tidur, rasanya ingin melanjutkan mimpi yang tertunda. Kuhempaskan kembali tubuhku ke kasur bulu angsa hadiah ulang tahunku ke tujuhbelas. Sejenak aku bermimpi tentang peri kecil di tengah telaga Sarangan, namun sebelum aku sempat berkenalan dengan peri kecil itu tiba-tiba suara gesekan lidi dengan tanah menyegat telingaku.
“Aduh berisik baget sih.” Gerutuku dalam hati.
Terganggu dengan gesekan lidi, aku tidak bisa melanjutkan mimipiku. Aku segera melangkah keluar kamar menuju halaman depan rumah. Kulihat eyang sudah berhenti memainkan lidi. “Lalu siapa yang menggesekan lidi tadi?” tanyaku dalam hati. Aku mencari eyang sampai ke halaman belakang, namun juga tidak aku jumpai. Tumpukan sampah dari daun sawo kering juga sudah tidak ada. Aku melangkah ke dapur, juga tidak ada, “wah! pasti diruang kerjanya.” Aku segera melangkah, berharap eyang ada di ruang kerjanya.
“Ada apa mencari eyang.” Belum sempat aku mengetuk pintu, eyang sudah menjawab pertanyaanku meskipun belum sempat terucap dari bibirku.
Aku heran, eyang sudah berpakaian rapi padahal baru saja memainkan lidi-lidinya.
“Dasar anak malas. Mandi dulu baru masuk ke sini.”
“Inggih eyang.” Aku tidak berani membantah dan segera pergi ke kamar mandi.

Aku kembali ke ruangan kerja enyang setelah penampilanku rapi. Begitulah eyang putri, semuanya harus terlihat rapi dan harus sempurna.
“Ya sudah, Rara, kamu bantu eyang Ngerok kain yang di diatas meja itu, kira-kira tinggal sepertiga bagian kain sudah selesai.”
“Baik eyang.”
Aku segera mengerjakannya, kuambil cawuk, (potongan kaleng dari bekas tempat minyak goreng yang sudah dipotong, berukuran lebar 3 centimeter dan panjang 25 sentimeter, ditajamkan lalu dilipat menjadi dua) dan mengerjakannya tanpa banyak kata. Eyang selalu melatihku supaya bersabar dalam mengerjakan pekerjaan ini. Apalagi kain mori tidak begitu tebal, salah-salah malah bisa sobek kalau tidak berhati-hati.
Sesekali aku juga mencuri pandang ke arah jari-jari eyang yang asik memainkan canthing kuno-nya. Canthing itu katanya warisan dari eyang putrinya. Selain eyang tidak ada yang berani menyentuh barang keramat itu. Ibu sendiri yang setiap hari selalu membantu eyang juga tidak pernah memakai canthing yang bentuknya sudah penuh dengan karat dan tertutup oleh kristal malam.

Aku pernah memeggannya sekali sewaktu membereskan perabotan membatik eyang. Memang agak berat dibanding dengan canthing yang lain meskipun bahannya sama dari tembaga. Tapi meskipun kata eyang canthing itu berbeda dengan yang lain, bagiku tetap sama, fungsinya kan juga sama.
Bibir eyang sudah kulihat pecah-pecah, kulit ari bibirnya sedikit mengelupas karena terlalu sering meniup-niup ujung canthing supaya malam tidak membeku di pipa kecilnya. Biasanya kalau sudah begitu eyang pasti beristirahat sebentar, minum kopi hasil tumbukan dan racikannya.
“Eyang, biar Rara yang melanjutkan nglowong-nya.”(menggambari kain dengan lilin, baik menggunakan canthing tangan atau cap (stempel)).
“Iya, tapi jangan sampai keliru, batik ini pesanan puterinya pak Lurah Wiro, mau dipakai pada saat pernikahan tiga bulan lagi.”
“Baik eyang.”

Eyang puteri melangkah ke teras belakang, seperti biasanya ia selalu duduk di kursi goyang peninggalan almarhum eyang kakung sambil menikmati kopi dan rokok hasil lintingannya. Kulihat eyang puteri sangat menikmatinya, suara burung prenjak yang setiap hari selalu hinggap di pohon rambutan sekan bernyanyi bagi eyang.
Satu jam sudah berlalu, biasanya eyang tidak lama meninggalkan pekerjaannya kalau hanya untuk istirahat minum kopi. Aku penasaran, kuintip eyang puteri dari pintu yang sedikit terbuka, aku masih melihatnya, kursi itu masih bergoyang meskipun pelan. Rokok yang dijepit diantara jari telunjuk dan tengah pun masih megeluarkan asap. Nyala bara dari campuran tembakau dan cengkeh masih terlihat terang dan meredup tertiup angin. Aku terus mengamatinya untuk beberapa saat lamanya, aku penasaran, “mengapa eyang puteri tidak segera mengehisap rokok atau meminum kopinya?”
Aku berdiri, meninggalkan pekerjaan nglowong mendekati eyang puteri. “nyuwun sewu eyang?” sambil kusentuh tangan kirinya. Aneh, eyang puteri tidak menjawab pertanyaanku. Aku menjerit, saat melihat bara tembakau bercampur cengkih yang terbungkus kertas putih dalam jepitan jarinya sudah membakar sebagian jari telunjuk dan jari tengah eyang puteri. Sebagian darah sudah mengering seperti warna soga (zat pewarna berwarna cokelat yang terbuat dari ekstrak pewarna yang terbuat dari kulit kayu) “Ibu, ibu.” Teriakku sambil kulepaskan bara itu. Aku menagis, bersujud dipangkuan eyang puteri sambil aku goyang-goyangkan tubuhnya. Eyang juga masih diam tidak menjawab. “ibuuu!” aku berteriak sekeras-kerasnya. “Rara, ada apa.” Raut wajah ibu seketika berubah saat melihat aku bersujud di pangkuan eyang. Segera ibu bersujud disebelahku dan menagis sejadi-jadinya setelah melihat wajah pucat eyang..
Sesaat lamanya kami menagis, ibu berdiri sambil menarik tangan kiriku. “sudahlah Rara, eyangmu sudah meninggal, biarlah eyang tenang dalam tidur panjangnya, lebih baik kita mengabari keluarga dan tetangga.
Tidak begitu lama para tetangga datang ke rumah kami memberikan yang terbaik bagi eyang puteri untuk yang terakhir kalinya. Suasana rumah menjadi tambah berjubel setelah para kerabat keluarga sudah banyak yang datang, karena pemakaman dilangsungkan hari itu.
***
Tiga hari setelah pemakaman eyang puteri, aku merasa ada sesuatu yang kurang dalam kehidupanku. Apalagi cara unik eyang puteri yang mengajari aku hidup dari sebuah canthing yang sederhana, bagaimana memainkan tarian canthing dengan jari atau menggoreskan unjung canthing dengan penuh cinta supaya menghasilkan karya yang indah. Bentakan-bentakan eyang juga tidak bisa aku dengar lagi ketika aku malas. Aku juga tidak bisa lagi dibangunkan oleh gesekan-gesekan lidi di pagi hari. Emm…sepertinya aku putus asa.
***
“Ayo, katanya mau nyekar ke makam eyang?” lamunanku terjaga.
“Iya bu, sebentar. Rara ambil tas dulu.”
Matahari sudah meninggi ketika kami berjalan menyusuri jalan setapak di pinggir aliran sungai menuju makam. Ibu yang menggunakan kerudung hitam seakan masih diliputi kesedihan yang mendalam. Matanya yang lebam masih terlihat jika ibu membuka kacamata minusnya.

Kira-kira 10 menit berjalan kaki, kami tiba di pemakaman. Harum bunga kamboja yang sedang mekar menjadi ucapan selamat datang. Pusara makam enyang puteri juga masih tercium harum bau bunga mawar sisa tiga hari yang lalu meskipun sudah mulai berwarna kecokelatan. Diiringi isak tanpa tangis ibu bersimpuh di samping makam, tangannya menegadah dan bibirnya bergetar membacakan doa bagi arwah eyang puteri. Aku melihat wajah ibu seperti bercahaya setelah kerudungnya tidak sengaja terbuka tertiup angin. Tidak kulihat lagi mata lebamnya, yang kulihat wajah ibu nampak bersih dan bercahaya, seakan tanpa beban duka.
Ibu sudah selesai mengucapkan doa-doanya, kulihat ada benda yang tidak asing berada di tangan ibu.
“Untuk apa canthing itu bu?”
“Sesuai permintaan eyangmu serta sudah menjadi tradisi turun-temurun benda ini harus diberikan ke cucu pertamanya, karena ibu hanya anak tunggal maka canthing ini eyang berikan ke kamu.”
“Tetapi, kenapa harus aku?”
“Sudahlah nak, kamu terima saja. Canthing ini ibarat pusaka keluarga yang turun-temurun diwariskan ke cucu perempuan pertama. Canthing ini terbuat dari logam mulia yang bagian luarnya dilapisi dengan tembaga, makanya warnanya terlihat kusam, dan pasti memiliki makna mengapa dibuat demikian. Dulu eyangmu pernah bilang bahwa canthing ini digunakan sebagai sumber inspirasinya dalam membatik. Memang ada hal yang tidak bisa kita terima secara nalar tetapi, kita juga tidak bisa menolak begitu saja kejadian yang sifatnya mistis.”
“Terus, apakah aku nantinya harus melanjutkan karya eyang sebagai tukan batik bu?”
“Itu terserah kamu, walaupun kamu tidak ingin, ibu akan meneruskan karya seni budaya itu, karena ibu sudah merasa bahwa membatik sudah menjadi bagian hidup ibu. Sekarang yang terpenting bagi kamu adalah menyelesaikan sekolahmu, masalah kamu akan bekerja sebagai apa, itu pilihan hidupmu.”
“Lalu, jika aku sekarang belum bisa membantu ibu dalam menyelasaikan karya-karya eyang, canthing ini untuk apa ibu berikan untukku, lebih baik ibu gunakan saja.”
“Tidak nak, meskipun tidak kamu gunakan simpan saja, anggap saja canthing ini sebagai kenang-kenangan dari eyangmu yang terakhir. Eyang puteri memang tidak mewariskan banyak harta, tetapi mimiliki cinta yang tulus kepada keluarga dan para pegawainya, sehingga kita semua bisa mejalani kehidupan ini meskipun dengan kesedarhanaan. Lihat saja rumah Joglo ini, sejak ibu masih kecil tetap tidak berubah ”

Matahari semakin meninggi setelah aku dikejutkan oleh gugurnya bunga kamboja yang mengenai kepalaku saat kami melangkah pulang.
“Ada makna apa ini bu?”
“Sudahlah nak, jalani dan rencanakan kehidupanmu, Tuhan pasti sudah merencanakan yang terbaik untukmu.

Thursday, March 27, 2008

Kesetiaan, Rasa dan Cinta

Perjumpaan terakhir terkadang membuat kita merasa sedih, semua harap untuk berjumpa kembali akan selalu membayangi, menanti saat-saat indah yang selalu membahagiakan hati.

Ketika kesetiaan harus diuji terkadang kita sampai terseok. Rasanya seperti putus asa. rasa hidup seperti mati, matapun bisa menembus batas pandang, mengalahkan terawang hati.

Apalagi ketika rasa mulai diuji. Katanya cemburu adalah symbol dari cinta, namun disisi lain kita tidak ingin membunuh kreativitas atau membunuh keinginan seseorang yang kita cintai untuk bahagia.

INTROSPEKSI DIRI!!!

Kekuatiran terkadang muncul memutar balikan fakta, lebih besar dan mengalahkan rasa cinta, namun bukan berarti harus melarang rasa titu, tetapi semua itu untuk kebaikan.

Semua kegigihan dan ketekunan pasti dikagumi banyak orang. Terlebih jika kita memiliki potensi yang unik, semua orang pasti akan memperebutkan kita untuk menjadi apa bagi mereka.

Seringkali kita terbuai dengan rayuan mereka, dengan pena terkadang kita diingatkan. Seperti coretan tinta pada kertas putih, nurani mengikuti kata hati dan jemari. Semua coretan pasti berarti, tergantung kita ingin membuat makna apa.

Cinta tidak bisa diperbandingkan, hanya bisa dirasakan lewat rasa dan tindakan yang tulus.

Tuesday, February 26, 2008

KANGEN

Rasa kangen itu ternyata bisa membuat kita merasa bahagia dikala kita merasa sepi. Yah, meskipun yang kita harapkan tidak bisa kita paksa untuk ada menemani, namun rasa kangen itu harus kita akui sebagai anugrah Tuhan. Selanjutnya, apakah cukup kalau semua yang ingin kita rasakan sudah terjadi, barangkali kita kecewa, marah, benci atau kita semakin bahagia. Itulah rasa yang kita miliki. Hati kita sebenarnya sangat jujur dan bersih. Otak dan pikiran kitalah yang terkadang menjadikan kita berfikir yang negative. Terkadang kita malah bertindak anarkis jika mengetahui realita.

Kangen mendegar gemericik air, kita tidak perlu pergi ke sungai yang masih alami. Kita bisa membuat gemericik buatan. Bisa jadi dengan cara ini rasa kangen kita bisa terobati. Namun, apakah hati bisa ditipu. Tetapi bukankah yang kita dengar sama-sama gemericiknya? Emmmm. Memang suaranya yang sama, tetapi apakah kita bisa membuat suasana yang alami, yang dibuat oleh alam sendiri. Tidak mungkin kita bisa. Yang punya kuasa jauh lebih berkuasa. Ketika kita mencoba mencermati secara visual mungkin buatan lebih indah dari pada yang alami.

Manusia cenderung ingin tahu segala-galanya tentang apa yang dilihatnya. Kesombongan-kesombongan mulai terusik. Terkadang sombong yang berlebihan membuat manusia menjadi serakah, rasa menjadi mati dan ingin menjadi penguasa. Rasa kangen pun mati dilindas kesombongan, inilah aku(manusia). Manusia cenderung idealis, ingin merubah apapun yang dipandang kurang sempurna. Alam yang tampak biasa dan sederhana juga dibuatnya menjadi cantik menurut ukuran dan visualisasi manusia. Alam yang dibuat sedemikian rupa tidak tinggal diam dengan ulah manusia, alam memperbaiki dirinya sendiri dengan alamiah, yang mungkin menurut manusia bisa menjadi bencana. Bagitu lah alam, sama dengan manusia, jika diusik juga akan risih.

Friday, February 22, 2008

TAKSA

Aku terjaga oleh pagi

Merona tersinari

Detik detik gerimis menghujam hati

Bagai tusukan tusukan lidi

Aku menyeringai, bukan tersenyum

Menghela napas dengan penuh dentum

Aku tidak menyesal tapi hanya bergumam

Menghapus sedih dalam pelukan malam

Aku bisa tertawa menghibur diri

Menutup sedih dengan bahagia dan menari

Lantunan music mengusik rasa iri

1001 malam ingin bercinta sendiri

Aku abadikan tetesan tetesan peluh

Jika sudah saatnya akan aku rengkuh

Aku sadar, lamunan bukan nyata

Tetapi rasa adalah nyata

Badanku lemas di sudut ranjang

Melihat tubuh mengejang

Kunikmati sebuah perjuangan panjang

Berharap asa segera datang

<malang, dalam pergulatan batin>

Tuesday, February 19, 2008

ADA GULA ADA SEMUT

Ada sebab ada akibat. Pepatah "ada gula ada semut" diatas adalah pernyataan yang perinsip. Suatu ketika pada saat saya ke Surabaya ada cerita yang menarik. Kira-kira waktu itu sekitar pukul 14.08, saat itu hujan dengan derasnya mengguyur bagian tengah kota. Ketika saya melewati jalan raya Darmo dari arah selatan dan ingin putar balik ke arah wonokromo secara tidak sengaja saya menabrak pengendara motor yang berhenti tepat di depan mobil yang saya kendarai. Mengerempun juga percuma karena jaraknya hanya sekitar 1 meter. Brak! Asu! Benturanpun tidak terhindarkan lagi. Saya tidak berhenti di jalur putar, saya minggir ke sebelah kiri jalan raya Darmo. Saat itu banyak pengendara motor lain berteriak supaya daya bertanggungjawab atas kejadian tadi. Saya pikir saya tidak salah, kenapa di jalur memutar dan dari arah sebaliknya sepi pengendara itu berhenti? Ternyata sang pengendara motor itu berhenti sambil menelpon dengan hape-nya. Saya beradu argument cukup lama dengan pengendara sepena motor itu. Akhirnya seorang polisi jalan raya mendatangi kami dan mengajak kami berunding di pos jaga.

Polisi        :"ono opo rek! Kok rame-rame neng ndalan?"

Saya         :"gak pak, iki mau gak sengojo aku nabrak deweke."

Pemotor     :"ah, mbojok pak, wong iki sengojo nabrak aku teko mburi, aku gak mau tahu, pokoke aku njaluk ganti rugi."

Saya         "gak iso cak. Mobilku yo penyok. Opo kon gelem ngganti?"

Pemotor     :"Dioancok, kon wani gejak geger karo aku, kon gak ngerti sapa aku yo."

Saya        :"aku gak mau tahu sapa kon, sing jelas kon mau sing salah, mandheg ono tengah ndalan karo nelpon. Umpama aku sengaja nabrak kon, kon mau wis matek."

Pemotor    : "yok apa pak polisi, solusine yokapa? Aja mbideg ae."

Polisi        : "damai ae, gak usah ribut maneh, wong rusake yo gak parah."

Pemotor    :"gak iso pak. Wong iki kudu ganti lampu buri motorku. Wis aku jaluk satus ewu ae."

Saya        :"gak iso, aku yo njaluk satus ewu dinggo ngecetne mobilku."

Kami bertiga akhirnya diam karena tidak ada yang mau mengalah. Polisi yang pada awalnya saya percaya untuk memastikan siapa yang salah juga tidak mencoba mencari titik temu bagi kami. Sambil menghisap rokoknya polisi itu berdiri.

Polisi        :"mas, seumpama kon ora liwat kene mau yo gak bakal tabrakan." (mas, seandainya kalian berdua tidak lewat jalan ini, tidak akan terjadi tabrakan)

Polisi itu segera pergi mengendari motor dinasnya menembus derasnya hujan.

Saya geli mendegar peryataan polisi tadi, memang kalau dipikir-pikir ada benarnya, tetapi apa segampang itu mengemukakan pendapat seringan itu. apa yang akan terjadi satu detik kedepan kita tidak tahu. Kejadian seperti itu pasti ada sebab dan akibat. Pertama, seandanya dia tidak menelpon sewaktu berkendara mungkin dia tidak akan berhenti di tengah jalan memutar yang sepi. Kedua, seandainya saya tidak memutar balik kendaraan saya, mungkin juga tidak akan terjadi tabrakan. ketiga, seandainya tidak hujan dan pandangan kami tidak terganggu oleh derasnya hujan mungkin juga tidak akan terjadi tabrakan. Lalu pernyataan manakah yang benar, pertama, kedua atau ketiga? Saya pikir kita tidak bisa menyalahkan alam yang memang sudah "perinsip", ada sebab pasti ada akibat. Hujan bukan kita yang menyebabkan tetapi alam yang membuat. Ketiga pernyataan diatas menurut saya tidak ada yang benar, yang benar adalah kenapa kami berada di tengah jalan memutar secara bersamaan sehingga terjadi tabrakan. Dalam cerita sederhana itu justru kami telah merugikan banyak orang. Arus lalulintas sedikit terganggu dan membuat orang lain mungkin jengkel kepada kita. Dari pengalaman cerita tersebut saya berpendapat, segala sesuatu sebenarnya kita yang membuat dan bukan orang lain. apa yang kita alamai, juga karena perbuatan kita. Yang jelas kita sering menyombongkan diri sehingga tidak bisa mengalahkan keteguhan dan ketegaran hati kita untuk mendapatkan yang kita inginkan.

<malang, dalam refleksi malam valentine>

Monday, February 4, 2008

Logika & Rasa

Ketika matahari terbit dari ufuk timur adalah sesuatu yang tidak terbantahkan. Begitu pula dengan kehidupan- lahir, hidup dan mati juga tidak terbantahkan. Namun, terkadang justru kita yang membuat ataupun merubah sesuatu yang tercipta sebelum kita ada. Bagi kita mungkin itu sebuah penelitian ilmiah yang tidak ada kaitanya dengan sang pencipta. Tetapi dibalik itu semua ada karena memang sudah ada sebelum kita dijadikan.

Begitu pula dengan logika dan rasa. Mereka ada karena mereka adalah sesuatu yang membutuhkan keseimbangan. Dalam hal apapun mereka selalu ada, namum terkadang kita tidak merasa bahwa mereka ada. Mereka tidak bisa terpisahkan, jika mereka terpisah mungkin kita dianggap gila. Ya, mungkin selamanya kita akan mati atau kita akan tidur dan hanya hembusan nafas yang terdengar.

<tiga menit dalam refleksi pagi>

Monday, January 7, 2008

MENGGELINDING

Pagi tadi aku sempat membuka blognya mb Dewi lestari www.dee-idea.blogspot.com, menarik sekali sebagai bagian kecil refleksi di awal tahun. Terima kasih mb Dee telah berbagi cerita.

Sabtu, 5 Desember aku pulang ke Garum, Blitar bertepatan dengan hari ulang tahun ibuku yang ke-53. Senang sekali bisa berkumpul dengan semua keluargaku. Aku sebagai anak pertama memelopori memberikan hadiah di ulang tahun ibu. Sebuah cincin telah melingkar di jari manisnya. Sekarang ada tiga buah cincin yang melingkar di jari manis ibu, satu cincin perkawinan, cincin pemberian eyang putri dan satu lagi pemberian dari cinta kami, anak-anaknya.

Ibu senang menerima hadiah dari kami. Aku sebenarnya masih belum pantas untuk dibanggakan, aku masih punya harapan yang masih aku gantungkan. Syukur puji Tuhan dua adikku juga sudah bekerja, tinggal adik perempuanku yang masih kelas satu SMA.

Setelah ayah meninggal di penghujung tahun 1996 kuakui sedikit berat roda kehidupan bagi keluargaku. Kami terus mengelinding mengikuti roda kehidupan, aku yang waktu itu masih baru lulus STM memutuskan untuk bekerja di Surabaya. Ketiga adikku masih sekolah. Waktu itu kami hanya menggantungkan hidup dari pensiunan janda PNS dan doa. Bersyukur kami bisa melaluinya bersama sampai sekarang di pertengahan Januari 2008.

Roda itu terus menggelinding, aku tidak memaksakan kecepatannya. Biar sang kusir yang memperhitungkan. Kita tinggal naik dan merasakan putarannya, terkadang roda itu juga terbentur bebatuan dan masuk lumpur. Goyangan-goyangan kurasakan sebagai gendongan ibu sewaktu merayuku untuk diam dari tangis. Hingga pada saatnya aku sampai pada tujuan yang aku inginkan meskipun terkadang tidak aku harapkan.

Malang, 07/01/08 <dalam pagi menjelang beraktivitas>