Tuesday, April 1, 2008

CANTHING

Pagi itu indah, langit terlihat lembayung tanpa mendung, di ufuk timur, hanya sebaris mega sebagai ornamen. Pun burung pipit berdendang menyanyikan pagi sebagai ucapan syukur. Dari halaman samping rumah bermodel joglo terdengar gesekan sapu lidi dengan tanah yang bersuara konstan. Aku terbangun meskipun dingin masih menyelimuti. Wajah tidurku masih melekat ketika aku membuka jendela kamar. Udara pagi segera berhamburan masuk ke ruangan berukuran empat kali empat meter persegi menggantikan udara pengap semalam. Segera aku menoleh keasal suara.
“Pagi eyang.” Sambil kulambaikan tangan kananku.
Sejenak suara gesekan lidi dengan tanah berganti sunyi, eyang puteri menoleh ke arahku. Hanya lambaian tangan yang membalas, sepertinya bibir eyang enggan bergetar. Lalu suara gesekan lidi itu kembali terdengar.

Aku segera melangkah ke tempat tidur, rasanya ingin melanjutkan mimpi yang tertunda. Kuhempaskan kembali tubuhku ke kasur bulu angsa hadiah ulang tahunku ke tujuhbelas. Sejenak aku bermimpi tentang peri kecil di tengah telaga Sarangan, namun sebelum aku sempat berkenalan dengan peri kecil itu tiba-tiba suara gesekan lidi dengan tanah menyegat telingaku.
“Aduh berisik baget sih.” Gerutuku dalam hati.
Terganggu dengan gesekan lidi, aku tidak bisa melanjutkan mimipiku. Aku segera melangkah keluar kamar menuju halaman depan rumah. Kulihat eyang sudah berhenti memainkan lidi. “Lalu siapa yang menggesekan lidi tadi?” tanyaku dalam hati. Aku mencari eyang sampai ke halaman belakang, namun juga tidak aku jumpai. Tumpukan sampah dari daun sawo kering juga sudah tidak ada. Aku melangkah ke dapur, juga tidak ada, “wah! pasti diruang kerjanya.” Aku segera melangkah, berharap eyang ada di ruang kerjanya.
“Ada apa mencari eyang.” Belum sempat aku mengetuk pintu, eyang sudah menjawab pertanyaanku meskipun belum sempat terucap dari bibirku.
Aku heran, eyang sudah berpakaian rapi padahal baru saja memainkan lidi-lidinya.
“Dasar anak malas. Mandi dulu baru masuk ke sini.”
“Inggih eyang.” Aku tidak berani membantah dan segera pergi ke kamar mandi.

Aku kembali ke ruangan kerja enyang setelah penampilanku rapi. Begitulah eyang putri, semuanya harus terlihat rapi dan harus sempurna.
“Ya sudah, Rara, kamu bantu eyang Ngerok kain yang di diatas meja itu, kira-kira tinggal sepertiga bagian kain sudah selesai.”
“Baik eyang.”
Aku segera mengerjakannya, kuambil cawuk, (potongan kaleng dari bekas tempat minyak goreng yang sudah dipotong, berukuran lebar 3 centimeter dan panjang 25 sentimeter, ditajamkan lalu dilipat menjadi dua) dan mengerjakannya tanpa banyak kata. Eyang selalu melatihku supaya bersabar dalam mengerjakan pekerjaan ini. Apalagi kain mori tidak begitu tebal, salah-salah malah bisa sobek kalau tidak berhati-hati.
Sesekali aku juga mencuri pandang ke arah jari-jari eyang yang asik memainkan canthing kuno-nya. Canthing itu katanya warisan dari eyang putrinya. Selain eyang tidak ada yang berani menyentuh barang keramat itu. Ibu sendiri yang setiap hari selalu membantu eyang juga tidak pernah memakai canthing yang bentuknya sudah penuh dengan karat dan tertutup oleh kristal malam.

Aku pernah memeggannya sekali sewaktu membereskan perabotan membatik eyang. Memang agak berat dibanding dengan canthing yang lain meskipun bahannya sama dari tembaga. Tapi meskipun kata eyang canthing itu berbeda dengan yang lain, bagiku tetap sama, fungsinya kan juga sama.
Bibir eyang sudah kulihat pecah-pecah, kulit ari bibirnya sedikit mengelupas karena terlalu sering meniup-niup ujung canthing supaya malam tidak membeku di pipa kecilnya. Biasanya kalau sudah begitu eyang pasti beristirahat sebentar, minum kopi hasil tumbukan dan racikannya.
“Eyang, biar Rara yang melanjutkan nglowong-nya.”(menggambari kain dengan lilin, baik menggunakan canthing tangan atau cap (stempel)).
“Iya, tapi jangan sampai keliru, batik ini pesanan puterinya pak Lurah Wiro, mau dipakai pada saat pernikahan tiga bulan lagi.”
“Baik eyang.”

Eyang puteri melangkah ke teras belakang, seperti biasanya ia selalu duduk di kursi goyang peninggalan almarhum eyang kakung sambil menikmati kopi dan rokok hasil lintingannya. Kulihat eyang puteri sangat menikmatinya, suara burung prenjak yang setiap hari selalu hinggap di pohon rambutan sekan bernyanyi bagi eyang.
Satu jam sudah berlalu, biasanya eyang tidak lama meninggalkan pekerjaannya kalau hanya untuk istirahat minum kopi. Aku penasaran, kuintip eyang puteri dari pintu yang sedikit terbuka, aku masih melihatnya, kursi itu masih bergoyang meskipun pelan. Rokok yang dijepit diantara jari telunjuk dan tengah pun masih megeluarkan asap. Nyala bara dari campuran tembakau dan cengkeh masih terlihat terang dan meredup tertiup angin. Aku terus mengamatinya untuk beberapa saat lamanya, aku penasaran, “mengapa eyang puteri tidak segera mengehisap rokok atau meminum kopinya?”
Aku berdiri, meninggalkan pekerjaan nglowong mendekati eyang puteri. “nyuwun sewu eyang?” sambil kusentuh tangan kirinya. Aneh, eyang puteri tidak menjawab pertanyaanku. Aku menjerit, saat melihat bara tembakau bercampur cengkih yang terbungkus kertas putih dalam jepitan jarinya sudah membakar sebagian jari telunjuk dan jari tengah eyang puteri. Sebagian darah sudah mengering seperti warna soga (zat pewarna berwarna cokelat yang terbuat dari ekstrak pewarna yang terbuat dari kulit kayu) “Ibu, ibu.” Teriakku sambil kulepaskan bara itu. Aku menagis, bersujud dipangkuan eyang puteri sambil aku goyang-goyangkan tubuhnya. Eyang juga masih diam tidak menjawab. “ibuuu!” aku berteriak sekeras-kerasnya. “Rara, ada apa.” Raut wajah ibu seketika berubah saat melihat aku bersujud di pangkuan eyang. Segera ibu bersujud disebelahku dan menagis sejadi-jadinya setelah melihat wajah pucat eyang..
Sesaat lamanya kami menagis, ibu berdiri sambil menarik tangan kiriku. “sudahlah Rara, eyangmu sudah meninggal, biarlah eyang tenang dalam tidur panjangnya, lebih baik kita mengabari keluarga dan tetangga.
Tidak begitu lama para tetangga datang ke rumah kami memberikan yang terbaik bagi eyang puteri untuk yang terakhir kalinya. Suasana rumah menjadi tambah berjubel setelah para kerabat keluarga sudah banyak yang datang, karena pemakaman dilangsungkan hari itu.
***
Tiga hari setelah pemakaman eyang puteri, aku merasa ada sesuatu yang kurang dalam kehidupanku. Apalagi cara unik eyang puteri yang mengajari aku hidup dari sebuah canthing yang sederhana, bagaimana memainkan tarian canthing dengan jari atau menggoreskan unjung canthing dengan penuh cinta supaya menghasilkan karya yang indah. Bentakan-bentakan eyang juga tidak bisa aku dengar lagi ketika aku malas. Aku juga tidak bisa lagi dibangunkan oleh gesekan-gesekan lidi di pagi hari. Emm…sepertinya aku putus asa.
***
“Ayo, katanya mau nyekar ke makam eyang?” lamunanku terjaga.
“Iya bu, sebentar. Rara ambil tas dulu.”
Matahari sudah meninggi ketika kami berjalan menyusuri jalan setapak di pinggir aliran sungai menuju makam. Ibu yang menggunakan kerudung hitam seakan masih diliputi kesedihan yang mendalam. Matanya yang lebam masih terlihat jika ibu membuka kacamata minusnya.

Kira-kira 10 menit berjalan kaki, kami tiba di pemakaman. Harum bunga kamboja yang sedang mekar menjadi ucapan selamat datang. Pusara makam enyang puteri juga masih tercium harum bau bunga mawar sisa tiga hari yang lalu meskipun sudah mulai berwarna kecokelatan. Diiringi isak tanpa tangis ibu bersimpuh di samping makam, tangannya menegadah dan bibirnya bergetar membacakan doa bagi arwah eyang puteri. Aku melihat wajah ibu seperti bercahaya setelah kerudungnya tidak sengaja terbuka tertiup angin. Tidak kulihat lagi mata lebamnya, yang kulihat wajah ibu nampak bersih dan bercahaya, seakan tanpa beban duka.
Ibu sudah selesai mengucapkan doa-doanya, kulihat ada benda yang tidak asing berada di tangan ibu.
“Untuk apa canthing itu bu?”
“Sesuai permintaan eyangmu serta sudah menjadi tradisi turun-temurun benda ini harus diberikan ke cucu pertamanya, karena ibu hanya anak tunggal maka canthing ini eyang berikan ke kamu.”
“Tetapi, kenapa harus aku?”
“Sudahlah nak, kamu terima saja. Canthing ini ibarat pusaka keluarga yang turun-temurun diwariskan ke cucu perempuan pertama. Canthing ini terbuat dari logam mulia yang bagian luarnya dilapisi dengan tembaga, makanya warnanya terlihat kusam, dan pasti memiliki makna mengapa dibuat demikian. Dulu eyangmu pernah bilang bahwa canthing ini digunakan sebagai sumber inspirasinya dalam membatik. Memang ada hal yang tidak bisa kita terima secara nalar tetapi, kita juga tidak bisa menolak begitu saja kejadian yang sifatnya mistis.”
“Terus, apakah aku nantinya harus melanjutkan karya eyang sebagai tukan batik bu?”
“Itu terserah kamu, walaupun kamu tidak ingin, ibu akan meneruskan karya seni budaya itu, karena ibu sudah merasa bahwa membatik sudah menjadi bagian hidup ibu. Sekarang yang terpenting bagi kamu adalah menyelesaikan sekolahmu, masalah kamu akan bekerja sebagai apa, itu pilihan hidupmu.”
“Lalu, jika aku sekarang belum bisa membantu ibu dalam menyelasaikan karya-karya eyang, canthing ini untuk apa ibu berikan untukku, lebih baik ibu gunakan saja.”
“Tidak nak, meskipun tidak kamu gunakan simpan saja, anggap saja canthing ini sebagai kenang-kenangan dari eyangmu yang terakhir. Eyang puteri memang tidak mewariskan banyak harta, tetapi mimiliki cinta yang tulus kepada keluarga dan para pegawainya, sehingga kita semua bisa mejalani kehidupan ini meskipun dengan kesedarhanaan. Lihat saja rumah Joglo ini, sejak ibu masih kecil tetap tidak berubah ”

Matahari semakin meninggi setelah aku dikejutkan oleh gugurnya bunga kamboja yang mengenai kepalaku saat kami melangkah pulang.
“Ada makna apa ini bu?”
“Sudahlah nak, jalani dan rencanakan kehidupanmu, Tuhan pasti sudah merencanakan yang terbaik untukmu.