Thursday, June 5, 2008

journey

Dalam teriakan pemimpin kami berperang. Perang yang tidak pernah kami rindukan sebelumnya. Kami bagaikan sepasukan pasukan khusus membelah belantara, menyusuri jalan setapak atau bahkan membuat jalan baru. Kami bergabung menjadi sebuah team, team yang harapannya mampu untuk menyamakan persepsi dan menghargai pendapat satu sama lain. Tetapi teori tidak seperti kenyataan, bahkan kami juga saling memaki selama menjalankan tugas unmtuk mencapai tujuan. Kami tidak diberi nama yang lazim seperti nama para pemimpin kami. Nama-nama kami hanya sebuah sandi-sandi yang hanya diketahui oleh para pemimpin kami. Badak hitam, hiu tutul, macan tutul, elang hitam, itu nama-nama dari sandi kami. Masing-masing personil pasukan kami memiliki keahlian. Jika kami dihadapkan pada alam pasti pasukan kami bisa bekerja sama untuk memecahkan hambatan selama perjalanan. Pasukan kami dibuat garang supaya bisa membunuh pasukan lawan. Kami diajari cara membunuh, baik dengan senjata maupun tanpa senjata.

Perjalanan, bagiku sama dengan sebuah perang yang memiliki misi khusus atau pribadi. Sebuah impian yang mungkin selama ini hanya aku gantungkan saja. Untuk mewujudkannya aku tidak mungkin bisa sendiri. Keluarga, orang yang kucintai, selalu ada didalam dan selama perjalananku. Aku bahagia bisa mengingat satu-persatu orang-orang yang aku cintai, karena dengan getaran-getaran doa yang keluar dari bibir-bibir mungil itu bisa menyemagati perjalananku.

Terkadang aku juga malu, malu kepada diriku sendiri. Saat aku bermain dengan mainanku justru aku melupakan orang-orang yang aku cintai. Aku tersadar saat ketika doa-doa mereka menampar telinggaku hingga meluluhkan kerasnya hatiku. Mereka tahu jika amarahku datang doa-doa itu justru mampu meredakan amarahku. Mereka tidak akan sama-sama emosi meluapkan amarahnya, namun justru dengan kelemah lembutan mereka mampu membisikan kata-kata yang lembut untuk membunuh emosiku.

Aku cemburu karena aku tidak mampu seperti mereka, yang bisa membuat orang yang aku cintai merasa bahagia sedang aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sadar aku banyak memiliki kekuarangan, kekurangan yang harus aku tambal sedikit demi sedikit sehingga mampu mengurangi kekuranganku. Kelebihanku, justru aku tidak bisa mengukur, orang lain saja yang menilai. Aku tidak mau menjadi sombong karena aku sudah merasa lebih, sebaliknya jika itu terjadi justru semakin banyaklah kekuranganku. Karena cemburu itu bagian dari cinta, maka aku sangat mensyukurinya.

Sepulang dari jakarta awal juni 08