Monday, October 6, 2008

Trend Novel Religi

Setelah meledaknya novel terjemahan, The Da Vinci Code karya Dan Brown yang diterbitkan oleh penerbit serambi pada Juni 2004 dapat dikatakan sebagai awal trend novel kontroversi. Pro maupun kontra langsung bertebaran di segala belahan dunia. Salah satu penerbit Indonesia yang meng-counter ketidak benaran dari novel karya Dan Brown adalah penerbit Dioma, dengan menerbitkan sebuah buku berjudul The Da Vinci Hoax. Faktanya pada saat itu, dalam industry buku, buku-buku yang kontroversi justru mendapatkan tempat di pasar. Akibatnya banyak dari penerbit-penerbit lain yang menjadi follower trend yang diminati pasar. Buku The Da Vinci Hoax juga numpang tenar karena judulnya mengcounter The Da Vinci Code. Mana yang benar, para pembaca terkadang dibuat binggung oleh karya-karya yang kontroversi ini sehingga tidak menutup kemungkinan banyak pembaca yang terpengaruh dan mencari kebenaran menurut persepsi pembaca.

Setelah pasar jenuh dengan buku novel yang kontroversi kini trend buku novel kembali menemukan nafas baru. Bukan lagi sebuah novel yang bisa menimbulkan permusuhan, melainkan trend baru yang sifatnya lebih ke religious. Siapa penerbit yang memelopori dalam membuat trend baru ini? Belum ada survey. Faktanya, kita bisa menemukan judul-judul novel tersebut di toko buku Gramedia dan selalu mendapat tempat di display buku best seller yang diminati pasar. Sebagai pelopor dari trend buku novel religious adalah novel berjudul Ayat-Ayat Cinta (penerbit Republika), disamping itu ada buku-buku lain; Cintamu Setulus Samudra (Mizan), A Thousand Splendid Suns
dan masih banyak lagi judul-judul yang berkategori religious.

Lalu, selanjutnya trend buku novel apalagi yang akan diminati pasar dalam industy buku? Kita hanya bisa menunggu apa yang akan dimaui pasar atau kita akan menciptakan sebuah trend baru? .

Kok Jadi Buku Obral!

Ketika saya berkunjung ke Yogyakarta dalam agenda kerja saya. Saya menyempatkan mampir dalam sebuah event book fair yang bisa dibilang berskala nasional, yang pasti lebih dari 100 penerbit yang mengikuti. Dari berbagai acara yang tertera pada banner di pintu masuk dari tahun ketahun tidak ada yang berubah, seperti yang selalu saya lihat di event-event sebelumnya, mulai dari “Jumpa pengarang”,” Talk Show”, “Bedah Buku”, “Workshop seputar jurnalistik, komputer dan karya tulis”, “Lomba Menggambar”, “Lomba Mewarnai”, selalu menghiasi papan acara dipintu masuk. Apa menariknya jika acara yang disajikan monoton setiap tahunnya? Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang paling sering mengadakan “pameran buku”. Banyak EO (event organizer) seperti buka buku production, shaka organizer dll yang berlomba untuk mengadakan event, meskipun ada juga yang hanya sebuah EO dadakan. Ya, itung-itung bagi bagi rejeki lah J.

Lalu apa yang menarik dari acara semacam ini, yang digelar berulang kali hingga setahun bisa mengadakan event pameran sampai 6 kali. Salah satu yang menarik adalah kita lupa akan kemampuan produksi dan kapasitas produksi dari suatu produk yang kita hasilkan. Bertumbuhnya pemain-pemain baru dalam dunia penerbitan tidak bisa kita pungkiri karena sudah menjadi trend di Indonesia, kita selalu ingin mengikuti jika orang lain sukses dalam bisnisnya. Seringnya pameran buku baik yang bersifat local maupun nasional merupakan fakta bahwa pengusaha penerbitan buku kurang memperhitungkan space market/daya tampung pasar,
yang akhirnya kita kebinggungan untuk menjualnya.
Menariknya ada sebuah stand yang hanya membiarkan koleksi buku-bukunya berserakan di stand tanpa didislpay. Hanya dijual dengan empat harga, yaitu; Rp 5.000,- Rp 10.000,- Rp 15.000,- Rp 20.000,- siapa yang tidak tertarik dengan harga semuarah itu, padahal kalau kita cek harga di toko buku Gramedia atau Toga Mas jauh lebih mahal. Apakah akhirnya, yang sering disebut-sebut dengan karya intelektual harus bernasib di sebuah stand pameran buku obral?

Estetika, mungkin bagi sebagian penerbit sudah melupakan dalam mendesain stand, meskipun ada beberapa penerbit besar yang tetap memertahankan estetika stand karena image perusahaan. Stand dibuat semenarik mungkin menurut ukuran kantong, banyak juga tulisan obral bergantungan di masing-masing stand. Ada yang menuliskan diskon gede-gedean hingga 70%, ada yang langsung menuliskan Cuma Rp 5000, aja, ada pula yang hanya menuliskan diskon 10% dan masih banyak kreativitas menulis lainnya,
yang lebih ekstrim lagi ada sebuah stand dengan sengaja menyebar hasil karya intelektual ini ke lantai stand, seperti yang dilakukan oleh Yusuf Agency.

Didalam tulisan ini saya mencoba untuk mencari beberapa factor yang kemungkinan memengaruhi mengapa penjualan buku, khususnya di Indonesia banyak yang masuk dalam kategori buku obral.

1. Tidak ada servey pasar. Ini jelas sekali sering diabaikan oleh pihak penerbit karena bagian produksi buku (redaksi) merasa pandai/merasa intelek dalam memilih buku yang diprediksi akan laku dijual di pasar. Namun justru pasar berbicara lain, setalah buku terbit malah tidak ada buku yang terjual.
2. Kurangan pengetahuan bisnis bagi bagian produksi (redaksi) dalam memilih naskah yang market oriented, sehingga hanya karena menurut kata hati saja sebuah buku akan diterbitkan.
3. Tidak tersegment dengan tepat.Seharusnya sebuah buku ketika masih embrio bagian produksi sudah harus tahu segmen pasar apa yang nantinya harus di bidik. Bukan sebaliknya mensegmentasi pasar setelah buku itu siap didistribusi. J
4. Judul Buku Yang “Ngawur”. Jangan Asal Menarik menurut persepsi desainer. Judul buku tidal asal bunyi. Maksimal hanya lima sampai enam kata. Contoh, buku best seller nasional karya Tung Desem Waringin berjudul The Financial Revolution, Cuma ada dua kata saja. Tidak ada kata dalam pembuatan judul buku. Factor lain yang memengaruhi adalah ketidaksesuaian antara isi dan judul buku. Ini akan berpengaruh terhadap konsumen karena merasa dirugikan.
5. Timing distribusi tidak tepat. Moment-moment penting dalam me-launching buku juga perlu dipertimbangkan karena pasar sendiri yang membuat trend.
6. Distribusi yang tidak merata. Sudah susah payah beriklan/berkampaye, penyebaran buku tidak merata. Ini salah satu bagian yang juga tidak bisa diabaikan karena perencanaan yang kita buat kurang matang. Seharusnya sejak awal kita sudah tahu kemana saja sebuah buku akan didistribusikan. Bukannya buku sudah jadi baru kita memikirkan penyebarannya.
7. Tidak Melakukan Book Campaign Book Campaign sangat perlu karena salah satu cara untuk mengenalkan sebuah buku ke konsumen, meskipun misalnya harus menggunakan cara seperti road show dan jumpa pengarang dengan mennggandeng artis/public figure.
8. Mengabaian Desain Cover. Sama dengan “ngawur/asal-asalan dalam mendesain cover buku sangat berdampak pada penjualan buku itu sendiri. Mestinya buku yang bagus otomatis bisa menjual dirinya sendiri tetapi karena cover yang dibuat asal-asalan tadi justru membuat masuk dalam kategori buku obral.
9. Kualitas cetak dan jilid. Nah… ini juga salah satu yang paling fatal. Font, colour, theme, spasi dll serta kekuatan lem jilid sangat berpengaruh terhadap konsumen. Terkadang kualitas cetak dan jilid ini menjadi prioritas yang kesekian sehingga kurang begitu terkontrol. Dampaknya konsumen akan menanggung kecewa.Dll. Masih banyak yang lainnya
10. …
11. Semoga bermanfaat

Ke-Inggris Ingrisan, Biar Keren gitu Loh!

Suatu saat saya pergi kesebuah toko buku terbesar di kota Malang. Saat saya mengamati segerombol remaja yang mengelilingi floor display buku novel remaja ada sesuatu yang menarik. Saya mencoba mendekati bertaya kepada salah satu dari mereka, “dik, lagi pilih buku apa?”

lalu dia menjawab, “Oh, ini lho mas, cari novel remaja, pengarangnya adalah teman satu kelas kami.”

“Wah, pasti pintar ya temanmu bias nulis buku pakai bahasa Inggris.” Sahutku, sambil aku lirik buku yang dia pegang.

“Ya enggak lah! Ini kan hanya judulnya aja mas yang pake bahasa Inggris. Isinya pake bahasa Indonesia kok.” Salah satu dari mereka menimpali.

“Biar keInggris Inggrisan gitu loh!” salah satu dari mereka menyahut. :)

Suatu peristiwa yang sangat menarik untuk kita cermati, bahwa permainan bahasa merupakan salah satu faktor penting untuk menilai sukses tidaknya dalam penjualan buku. Seandainya buku itu berjudul “apakah Itu Cinta?” mungkin tidak akan pernah menarik/dilirik oleh para remaja, meskipun sudah terpajang apik di display buku. Lain cerita jika kita menuliskan kedalam bahasa Inggris dengan “What Is Love?” pasti para remaja/ABG akan melirik dan mungkin sampai membelinya. Ke-Inggris Inggrisan inilah yang sudah menjamur dan semakin marak di Indonesia. Fakta, di toko buku sudah jelas, berapa banyak buku yang diterbitakan oleh penerbit lokal/penerbit dari Indonesia sendiri yang memakai kata dalam bahasa Inggris. Bahkan buku best seller di Indonesia yang memecahkan rekor MURI sebagai buku local terlaris yang terjual sebayak 10511 eksemplar sehari memakai kata dalam bahasa Inggris. Masih ingatkah buku yang di tulis oleh Tung Desem Waringin berjudul Finacial Revolution, Ini adalah sebuah fakta, dan sulit untuk membendungnya.

Pergeseran bahasa memang tidak bisa kita bendung begitu saja. Sebagai contoh, kita harus mencintai produk Indonesia. Apakah semudah itu? Justru semakin banyak orang yang mencintai produk dari luar negeri, tentu dengan berbagai alasan. Mungkin karena kualitasnya lebih bagus jika dibanding dengan produk dalam negeri atau seribu alasan lain.

Kita perlu waktu untuk berproses menjadi diri kita sendiri, untuk mencintai diri kita sendiri, apalagi mencintai produk kita sendiri atau bangga pada diri kita sendiri. Bagi kita permainan bahasa tidaklah penting, yang terpenting adalah manfaat dari apa yang kita pelajari lewat media, baik cetak maupun elektronik. Tentunya, apa yang kita dapat dari sebuah fakta adalah untuk semakin mendewasakan pola pikir kita.