Tuesday, February 26, 2008

KANGEN

Rasa kangen itu ternyata bisa membuat kita merasa bahagia dikala kita merasa sepi. Yah, meskipun yang kita harapkan tidak bisa kita paksa untuk ada menemani, namun rasa kangen itu harus kita akui sebagai anugrah Tuhan. Selanjutnya, apakah cukup kalau semua yang ingin kita rasakan sudah terjadi, barangkali kita kecewa, marah, benci atau kita semakin bahagia. Itulah rasa yang kita miliki. Hati kita sebenarnya sangat jujur dan bersih. Otak dan pikiran kitalah yang terkadang menjadikan kita berfikir yang negative. Terkadang kita malah bertindak anarkis jika mengetahui realita.

Kangen mendegar gemericik air, kita tidak perlu pergi ke sungai yang masih alami. Kita bisa membuat gemericik buatan. Bisa jadi dengan cara ini rasa kangen kita bisa terobati. Namun, apakah hati bisa ditipu. Tetapi bukankah yang kita dengar sama-sama gemericiknya? Emmmm. Memang suaranya yang sama, tetapi apakah kita bisa membuat suasana yang alami, yang dibuat oleh alam sendiri. Tidak mungkin kita bisa. Yang punya kuasa jauh lebih berkuasa. Ketika kita mencoba mencermati secara visual mungkin buatan lebih indah dari pada yang alami.

Manusia cenderung ingin tahu segala-galanya tentang apa yang dilihatnya. Kesombongan-kesombongan mulai terusik. Terkadang sombong yang berlebihan membuat manusia menjadi serakah, rasa menjadi mati dan ingin menjadi penguasa. Rasa kangen pun mati dilindas kesombongan, inilah aku(manusia). Manusia cenderung idealis, ingin merubah apapun yang dipandang kurang sempurna. Alam yang tampak biasa dan sederhana juga dibuatnya menjadi cantik menurut ukuran dan visualisasi manusia. Alam yang dibuat sedemikian rupa tidak tinggal diam dengan ulah manusia, alam memperbaiki dirinya sendiri dengan alamiah, yang mungkin menurut manusia bisa menjadi bencana. Bagitu lah alam, sama dengan manusia, jika diusik juga akan risih.

Friday, February 22, 2008

TAKSA

Aku terjaga oleh pagi

Merona tersinari

Detik detik gerimis menghujam hati

Bagai tusukan tusukan lidi

Aku menyeringai, bukan tersenyum

Menghela napas dengan penuh dentum

Aku tidak menyesal tapi hanya bergumam

Menghapus sedih dalam pelukan malam

Aku bisa tertawa menghibur diri

Menutup sedih dengan bahagia dan menari

Lantunan music mengusik rasa iri

1001 malam ingin bercinta sendiri

Aku abadikan tetesan tetesan peluh

Jika sudah saatnya akan aku rengkuh

Aku sadar, lamunan bukan nyata

Tetapi rasa adalah nyata

Badanku lemas di sudut ranjang

Melihat tubuh mengejang

Kunikmati sebuah perjuangan panjang

Berharap asa segera datang

<malang, dalam pergulatan batin>

Tuesday, February 19, 2008

ADA GULA ADA SEMUT

Ada sebab ada akibat. Pepatah "ada gula ada semut" diatas adalah pernyataan yang perinsip. Suatu ketika pada saat saya ke Surabaya ada cerita yang menarik. Kira-kira waktu itu sekitar pukul 14.08, saat itu hujan dengan derasnya mengguyur bagian tengah kota. Ketika saya melewati jalan raya Darmo dari arah selatan dan ingin putar balik ke arah wonokromo secara tidak sengaja saya menabrak pengendara motor yang berhenti tepat di depan mobil yang saya kendarai. Mengerempun juga percuma karena jaraknya hanya sekitar 1 meter. Brak! Asu! Benturanpun tidak terhindarkan lagi. Saya tidak berhenti di jalur putar, saya minggir ke sebelah kiri jalan raya Darmo. Saat itu banyak pengendara motor lain berteriak supaya daya bertanggungjawab atas kejadian tadi. Saya pikir saya tidak salah, kenapa di jalur memutar dan dari arah sebaliknya sepi pengendara itu berhenti? Ternyata sang pengendara motor itu berhenti sambil menelpon dengan hape-nya. Saya beradu argument cukup lama dengan pengendara sepena motor itu. Akhirnya seorang polisi jalan raya mendatangi kami dan mengajak kami berunding di pos jaga.

Polisi        :"ono opo rek! Kok rame-rame neng ndalan?"

Saya         :"gak pak, iki mau gak sengojo aku nabrak deweke."

Pemotor     :"ah, mbojok pak, wong iki sengojo nabrak aku teko mburi, aku gak mau tahu, pokoke aku njaluk ganti rugi."

Saya         "gak iso cak. Mobilku yo penyok. Opo kon gelem ngganti?"

Pemotor     :"Dioancok, kon wani gejak geger karo aku, kon gak ngerti sapa aku yo."

Saya        :"aku gak mau tahu sapa kon, sing jelas kon mau sing salah, mandheg ono tengah ndalan karo nelpon. Umpama aku sengaja nabrak kon, kon mau wis matek."

Pemotor    : "yok apa pak polisi, solusine yokapa? Aja mbideg ae."

Polisi        : "damai ae, gak usah ribut maneh, wong rusake yo gak parah."

Pemotor    :"gak iso pak. Wong iki kudu ganti lampu buri motorku. Wis aku jaluk satus ewu ae."

Saya        :"gak iso, aku yo njaluk satus ewu dinggo ngecetne mobilku."

Kami bertiga akhirnya diam karena tidak ada yang mau mengalah. Polisi yang pada awalnya saya percaya untuk memastikan siapa yang salah juga tidak mencoba mencari titik temu bagi kami. Sambil menghisap rokoknya polisi itu berdiri.

Polisi        :"mas, seumpama kon ora liwat kene mau yo gak bakal tabrakan." (mas, seandainya kalian berdua tidak lewat jalan ini, tidak akan terjadi tabrakan)

Polisi itu segera pergi mengendari motor dinasnya menembus derasnya hujan.

Saya geli mendegar peryataan polisi tadi, memang kalau dipikir-pikir ada benarnya, tetapi apa segampang itu mengemukakan pendapat seringan itu. apa yang akan terjadi satu detik kedepan kita tidak tahu. Kejadian seperti itu pasti ada sebab dan akibat. Pertama, seandanya dia tidak menelpon sewaktu berkendara mungkin dia tidak akan berhenti di tengah jalan memutar yang sepi. Kedua, seandainya saya tidak memutar balik kendaraan saya, mungkin juga tidak akan terjadi tabrakan. ketiga, seandainya tidak hujan dan pandangan kami tidak terganggu oleh derasnya hujan mungkin juga tidak akan terjadi tabrakan. Lalu pernyataan manakah yang benar, pertama, kedua atau ketiga? Saya pikir kita tidak bisa menyalahkan alam yang memang sudah "perinsip", ada sebab pasti ada akibat. Hujan bukan kita yang menyebabkan tetapi alam yang membuat. Ketiga pernyataan diatas menurut saya tidak ada yang benar, yang benar adalah kenapa kami berada di tengah jalan memutar secara bersamaan sehingga terjadi tabrakan. Dalam cerita sederhana itu justru kami telah merugikan banyak orang. Arus lalulintas sedikit terganggu dan membuat orang lain mungkin jengkel kepada kita. Dari pengalaman cerita tersebut saya berpendapat, segala sesuatu sebenarnya kita yang membuat dan bukan orang lain. apa yang kita alamai, juga karena perbuatan kita. Yang jelas kita sering menyombongkan diri sehingga tidak bisa mengalahkan keteguhan dan ketegaran hati kita untuk mendapatkan yang kita inginkan.

<malang, dalam refleksi malam valentine>

Monday, February 4, 2008

Logika & Rasa

Ketika matahari terbit dari ufuk timur adalah sesuatu yang tidak terbantahkan. Begitu pula dengan kehidupan- lahir, hidup dan mati juga tidak terbantahkan. Namun, terkadang justru kita yang membuat ataupun merubah sesuatu yang tercipta sebelum kita ada. Bagi kita mungkin itu sebuah penelitian ilmiah yang tidak ada kaitanya dengan sang pencipta. Tetapi dibalik itu semua ada karena memang sudah ada sebelum kita dijadikan.

Begitu pula dengan logika dan rasa. Mereka ada karena mereka adalah sesuatu yang membutuhkan keseimbangan. Dalam hal apapun mereka selalu ada, namum terkadang kita tidak merasa bahwa mereka ada. Mereka tidak bisa terpisahkan, jika mereka terpisah mungkin kita dianggap gila. Ya, mungkin selamanya kita akan mati atau kita akan tidur dan hanya hembusan nafas yang terdengar.

<tiga menit dalam refleksi pagi>