Saturday, May 23, 2009

MULUT YANG AJAIB (tahu lontong)

Sadarkah kita, mulut yang kita miliki bisa menyanjung orang lain atau juga dapat menyakiti orang lain. Mulut itu tanjam, bila digunakan dengan cara yang benar dapat memengaruhi pikiran orang lain untuk mengikuti sesuai kehendak kita.


Ada cerita menarik ditempat tinggal saya.


Mbah Minah adalah penjual tahu lontong. Sejak usia saya mampu mengingat tempat dimana mbah Minah jualan tahu lontong, sampai sekarang kalau pulang ke kampung saya selalu menyempatkan mampir ke warungnya. Warungnya sederhana, hanya numpang di teras toko milik orang lain, buka malam hari setelah toko itu tutup, dan memakai lampu sentir minyak tanah.


Mungkin sekarang usianya sudah kepala 7, namun semangatnya masih bisa diacungi jempol. Siapa yang tidak tahu, tahu lontong pojok pasar Garum, Blitar, mbah Minah. Orang sekampung pada tahu, kalau tahu lontong mbah Minah sudah lintas generasi. Mulai dari nenek saya, ayah saya, saya sendiri, sampai yang berusia dibawah saya masih mampu merasakan khasnya tahu lontong mbah Minah.


Mbah Minah sama sekali tidak mengenal istilah marketing, apalagi promosi atau mouth to mouth promotion. Yang mbah Minah tahu, rasa tahu lontongnya digemari banyak orang. Siapa sangka hanya berbekal promosi omongan tetangga dari mulut ke mulut, sampai sekarang tahu lontong mbah Minah terkenal sampai lintas generasi.  


Mulut memang ajaib, lalu mau kita gunakan untuk apa?  membicarakan hal-hal positif atau negatif? Hmm…sepertinya sebuah pilihan buat kita? Semoga saja kita dapa memanfaatkan kelebihan kita untuk hal yang positif.


 

Sunday, May 17, 2009

Memaksimalkan Kekurangan

Kekurangan terkadang menjadi ganjalan ketika saya berada dilingkungan orang-orang pintar, berwawasan luas, dan berpendidikan tinggi. Rasa minder, rasa tidak percaya, merasa tidak mampu, sering menghantui ketika ingin bersosialisasi dengan mereka, meskipun mereka sebenarnya juga mau terbuka terhadap saya. Entah! Apakah usia saya waktu itu masih terlalu muda atau masih kekanak-kanan. Tetapi itu dulu, ketika usia saya masih belasan tahun dan baru lulus dari Sekolah Teknik Menegah.


Dulu ketika pertama kali saya bekerja disebuah perusahaan swasta, saya sering diejek oleh taman-teman sekantor. Katanya saya seorang yang “gaptek” alias gagap teknologi, tidak mau belajar komputer padahal pada saat itu sudah ada fasilitas internet gratis. Lama-lama capek juga kalau tiap hari mendengar ejekan dari teman-teman atau ketika melihat teman-teman sedang asik berselancar di dunia maya, saya hanya jadi penonton saja, akhirnya sembunyi-sembunyi belajar sendiri internet dari buku-buku referensi tentang internet.


Buku menurut saya adalah “guru” yang statis alias diam, tidak bisa ngomong dan hanya bisa dibaca saja, sedangkan saya adalah “murid” yang dinamis, mampu melakukan kegiatan untuk berpikir kritis, logis dan analistis dalam menjadi “murid” sebuah buku. Jadi buku akan menjadi sampah kalau saya hanya sama-sama diam. Lama-lama saya pun dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan saya, termasuk dalam bidang teknologi informasi. Dari buku itulah (buku cetak maupun elektronik) saya dapat belajar sedikit-demi sedikit tentang internet, website ataupun weblog. Saya memang tidak menguasai bahasa HTML (HyperText Mark-up Language) atau CSS (Cascading Style System) bahasa atau kode untuk mengatur tampilan dokumen. Yah, meskipun tidak menguasai, minimal tahu sedikit. Tetapi dalam kemampuan yang minim tentang bahasa pemrograman, sayapun akhirnya bisa belajar membuat blog, meskipun hanya sederhana dengan domain nama saya sendiri. Menurut saya ini suatu kebanggaan dan kesuksesan tersendiri karena mampu membuat sesuatu yang sebelumnya tidak bisa menjadi bisa. Weblog hanya sebuah sarana atau kendaraan saja, sedangkan content (isi) merupakan informasi yang lebih prioritas.


Saya pun ingin mengisi blog saya dengan content yang menarik dan informatif, sehingga bisa berbagi dengan teman-teman yang lain. Terkadang binggung juga, kalau saya membaca saya tidak bisa menulis, kalau saya belajar bahasa pemrograman saya tidak bisa mengisi content blog. Huuuh binggung sendiri juga akhirnya. hehehhehhe


Berkenalan dengan Citizen Journalism

Mungkin diantara kita masih asing dengan istilah citizen journalism. Apakah kita pernah berpikir, mengapa suatu berita yang ditanyangkan/disampaikan, baik di media cetak ataupun elektronik begitu cepat tersiar kepada kita? Bagaimana mungkin seorang wartawan bisa langsung berada ditempat kejadian, bersamaan dengan peristiwa itu terjadi? Rasa-rasanya jarang kalau kita memikirkan hal semacam itu, lebih baik menjadi penikmat berita saja ? hehehe.


Tanpa disadari oleh banyak orang, suatu peristiwa/kejadian pasti ada saksi mata didekat tempat peristiwa itu terjadi. Hanya beberapa orang saja (disekitar kita) yang tanggap terhadap kejadian itu. Orang itu pasti akan menghubungi pihak terkait semisal; telepon/SMS yang dikirim estafet atar warga, pihak keamanan, pemadam kebakaran, radio, mengirim berita lewat email ke media terkait, atau posting ke blog pribadi, sehingga informasi dari kejadian bisa cepat tersiar. Akhirnya selang beberapa menit saja kita sudah dapat menikmati informasi yang aktual.


Kita sebagai warga biasa pun bisa menjadi wartawan melalui situs-situs blog pribadi atau situs-situs yang menyediakan ruang bagi masyarakat untuk mengirimkan; berita, informasi, foto, video atau podcasting hasil karya kita. Beberapa situs diantaranya; Wikimu.com, community.kompas.com atau kabarindonesia.com…ingin berkenalan atau mencoba menjadi jurnalis warga, silakan menggunjungi situs tersebut .


Pada akhirnya kita tidak akan tinggal diam dan pasif sebagai penikmat berita saja, lebih dari itu, kita juga bisa menjadi sumber/saksi mata dari suatu kejadian, dan juga sebagai ajang belajar. Selamat mencoba!

Saturday, May 16, 2009

Ayo! Bersahabat dengan InterNet







Yang kita pikirkan belum tentu serumit yang kita kerjakan


Hemmm….internet!...internet! mengapa engkau membuatku “gaptek” dan “katrok”. Tidak bisa kita pungkiri, bahwa semakin kita ingin maju, pengen tahu segala sesuatu, ingin berkembang sesuai dengan mimpi-mimpi kita, justru kita merasa semakin terbelakang. Seperti kita, yang semakin lama beteman dengan internet justru semakin “gaptek” n’ “katrok”. Kita selalu ingin tahu dan akan terus belajar.


Alangkah bahagianya anak-anak sekarang, masih duduk dibangku sekolah dasar sudah mengenal yang namanya komputer, handphone, video game, maupun teknologi yang lainnya. Pengetahuan dan pengenalan internet sejak dini juga sudah diterapkan dibeberapa sekolah dasar di kota-kota besar. Mereka sudah fasih menekan huruf-huruf yang letaknya tidak berurutan pada keyboard (QWERTY), dan menggunakannya sesuai dengan daya imajinasi mereka. Ada yang sudah pandai mengetik dengan cepat, adapula yang sudah mahir dalam mengolah gambar atau mungkin ada yang pandai dalam bermain game online, bahkan lihai dalam surfing internet. Rasa-rasaya kita justru semakin terbelakang dari mereka.


Sebenarnya banyak sumber informasi yang dapat kita peroleh, baik dari media cetak maupun media online agar kita tidak merasa “gaptek” dan “katrok”. Kebiasaan membaca sangatlah penting untuk menunjang pengetahuan kita, mulai dari bacaan ringan, seputar hobi, teknologi atau mungkin sampai dengan bacaan yang membutuhkan pemikiran dan logika. Di media online kita bisa memanfaatkan situs-situs informasi berita, seperti kompas.com, detik.com, jawapos.co.id, okezone.com, wikimu.com (yang sebagai salah satu situs jurnalisme warga atau citizen journalism) dll. Jika kita buta alamat situs yang akan kita tuju , kita bisa mencari informasi di mesin pencari, search engine seperti google, msn, yahoo, live, altavista, AOL, alltheweb. Dalam situs wikipedia (ensyclopedia online) terdapat juga segudang informasi gratis yang kaya dengan ilmu pengatahuan, wikipedia juga ada dalam versi bahasa Indonesia, jadi gak akan ada masalah dalam urusan bahasa. Hemm…..jadi gampang kan mencari sumber informasi J tinggal mengembangkannya tanpa batas.


Memiliki pengetahuan luas, sederet “gelar” yang berjejer rapi….apakah kita sudah puas? Tentu saja tidak. Segudang pengetahuan dan keterampilan, bahkan sudah memiliki spesialisasi disiplin ilmu tertentu pasti juga ingin terus belajar. Namun, apakah yang kita dapat dari ilmu pengetahuan itu akan kita simpan di dalam memori kita? Ataukah mengomersilkan ilmu kita atau men-share-kan dengan teman dekat atau orang lain? Diantara kita pasti punya pendapat sendiri-sendiri jika ingin berkembang.


Blog atau weblog, merupakan istilah yang pertama kali “ditemukan” oleh Jorn Barger, pada Desember 1997. Jorn menggunakan istilah weblog untuk untuk menyebut nama website-website yang berupa catatan harian atau journal. Seorang blogger (pemilik blog) dari sekadar untuk membuat daftar link, weblog juga berkembang sebagai media untuk menulis catatan “harian” ataupun “opini” yang lahir dari gagasan-gagasan para blogger. Hal ini yang menjadi ciri khas weblog, kita bisa menulis tentang apa saja yang kita mau dan mempublikasikan tulisan-tulisan kita ke internet..


Sharing/blogging, saling bertukar informasi dengan sesama blogger adalah salah satu ciri khas komunikasi blogger, itu membuat para blogger tidak ketinggalan informasi. Berbagi ilmu demi menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan menjadi tanggung jawab bersama, tidak heran jika para blogger memiliki komunitas tertentu untuk berdiskusi. Banyak blogger yang membagikan segala informasi, teknologi, hiburan, tempat wisata, wisata kuliner, photo ataupun ilmu pengetahuan lain yang dia miliki untuk dibagikan gratis kepada pengguna internet.


Semakin kita sering berbagi semakin banyak kita mendapatkan pengalaman baru. Lalu, apakah kita tidak ingin seperti mereka, membagikan ilmu pengetahuan secara bebas? Harusnya kita tidak “pelit” atau “pasif” terhadap ilmu pengetahuan, men-share-kan justru akan membuat kita semakin berkembang, dihargai dan dikenal, karena kita berani berbagi dengan orang lain. Sekarang saatnya kita “ditantang” oleh internet, bersahabat atau kita terbunuh. Kita akan “gaptek” atau“katrok” selamanya dan akhirnya menyesal dikemudian hari.


Ayo! Jangan bunuh kreativitasmu!


MEMBACA DAN MENULIS





Asik kita udah bisa membaca dan menulis. Saya teringat sewaktu masih duduk dibangku kelas satu Sekolah Dasar. Dimana saat itu, Guru kami mengajarkan bagimana cara mengeja kata. Namun, saya lupa, mana yang terlebih dahulu, membaca atau menulis? Namun tidaklah penting, yang pasti saat ini saya sudah bisa membaca dan menulis.


Membaca dan menulis memang kegiatan yang bertolak belakang. Tidak mungkin kita membaca sambil menulis, atau sebaliknya. Membaca dan menulis adalah suatu kebiasaan, yang jika kita pupuk terus-menerus akan menghasilkan sebuah pengetahuan, yang mungkin bisa berguna bagi siapa saja, atau bahkan akan menjadi cacian bagi siapa saja.


Kata seorang penulis,” Aku tidak pernah bisa menulis ketika aku sedang membaca, padahal aku ingin menulis sebuah tulisan. Namun aku binggung, aku tidak punya pengetahuan untuk berimajinasi.”


Lalu mana yang harus kita dahulukan, membaca atau menulis? Sandaianya kita melakukan aktivitas membaca, dan terus menerus membaca, kapan kita akan bisa menulis? Seandainya kita melakukan aktivitas menulis terus-menerus, kapan kita akan membaca? Yang pasti perlu adanya keseimbangan untuk melakukan kegiatan membaca dan menulis.


Bagi saya membaca ibaratnya sebuah makanan, dan menulis adalah sebuah hasil/energy yang telah kita makan. Mungkin idealnya adalah membaca terlebih dahulu baru selanjutnya kita melakukan aktivitas menulis. Dengan kata lain membaca adalah sebuah proses melakukan kegiatan yang menghasilkan pengetahuan, dan informasi sedangkan menulis adalah sebuah proses untuk menuangkan gagasan/ide dari aktivitas kita membaca. J

BUAT APA NGE-NET?







(kalau hanya buang-buang waktu yang tidak produktif)


Siapa sangka dunia maya kini berkembang sangat pesat, mulai dari pesawat telepon, televisi, communicator, PDA (personal digital assistant), GPS (global positioning system) dan internet. Teknologi informasi terus berkembang dan akan mengalami penyempurnaan secara terus-menerus, baik itu dukungan pada hardware maupun sofware. Siapa yang menyangka, komputer pertama yang berukuran raksasa, sekarang dapat kita lihat dan kita miliki hanya berukuran beberapa inchi saja. Terkadang kita sebagai orang awam tidak akan sampai memikirkan hal yang semula tidak mungkin menjadi mungkin, atau mungkin kita tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Kita mungkin hanya diam sebagai konsumer, penikmat dan merasa enjoy dengan kemudahan serta layanan teknologi yang serba canggih. Dulu kita juga tidak pernah memikirkan bahwa berkomunikasi dengan pesawat telepon dapat melihat wajah, bisa melihat wajah antara penerima dan penelepon, yang sekarang terkenal dengan teknologi 3G atau 3,5G... Kini teknologi itu sungguh-sungguh nyata dan masuk akal. Sebelumnya pasti tidak terpikirkan oleh kita bukan?


Seharusnya kita jangan sampai terjebak dalam bungkusan rapi jaringan internet, yang terkadang berpengaruh negatif bagi kehidupan sosial kita sendiri. Apalagi lagi karena ketergantungan kita terhadap dunia maya membuat perilaku kita menjadi gagap dengan dunia nyata. Alangkah bodohnya kita J kalau keadaan seperti itu sungguh-sungguh terjadi.


Menyikapi teknologi informasi dalam mendukung ilmu pengetahuan memang sangat penting, kita bisa memilah-milah sendiri mana yang lebih prioritas, mana yang baik buat kita, dan sebaiknya digunakan untuk apa. Para pengguna teknologi informasi di Indonesia memang belum banyak yang menyadari pentingnya penggunaan dari teknologi tersebut. Kebayakan dari kita menggunakan internet hanya untuk; berkirim dan menerima e-mail; browsing di hutan maya tanpa tujuan yang akhirnya bisa gila karena terjebak/ tersesat; chatting yang sekedar iseng, ngerjain orang lain, buang-buang waktu untuk urusan yang tidak produktif; atau untuk searching, mencari informasi, berita, bahan presentasi, iseng dsb. Lalu, sebaiknya digunakan untuk apa internet itu? Banyak diantara kita yang sudah memiliki weblog pribadi atau website. Media blog seperti; blogspot, wordpress, multiply, xanga, blog friendster, flickr dll, yang biasa kita gunakan untuk sharing/blogging, media ini salah satu bentuk dari penggunakan internet yang seharusnya. (Bagi yang belum memiliki weblog/blog silakan melakukan registrasi ke alamat blog diatas). Kalau kita lebih berpikir maju dan mau berubah dalam penggunaan internet seperti untuk email, browsing,chatting dan searching, perlu kita tambahi lagi kegunaannya untuk: bisnis, menjual produk atau jasa; marketing,memasarkan produk atau jasa; sharing/blogging, berbagi pengalaman atau ilmu pengatahuan ke sesama blogger; dan branding, memopulerkan diri kita di dunia maya. Selanjutnya kembali kepada diri kita sendiri, mana yang akan kita pilih, yang pasti harus menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kita dan bagi orang lain. J

Lastri






Lastri


(penjual jamu gendong)



Terik matahari siang itu begitu panas, biasanya pertanda akan hujan. Mendungpun tampak berduyung-duyung dari arah selatan, menuju tengah kota, berhenti dan menutupi langit kota Malang. Terik pun berganti sedikit dingin disertai hembusan angin yang mendesir.


“Lastri, Lastri.” Panggil lek Karto, si pengayuh becak yang biasa mangkal di depan Bank Permata.


Lastri menghentikan langkahnya, memandang lek Karto yang memanggilnya dari seberang jalan, “Ada apa lek To? Mau beli jamu ya?” jawab lastri.


“Iya.” Sahut lek Karto


Lastri menegok kekanan dan kekiri, meyeberang jalan menghampiri lek Karto yang masih duduk didalam becaknya.


“Iya Tri, badanku pegel-pegel, tadi barusan aku dapat rejeki nagantar mbok Sumi ke pasar besar.”


“Dapat rejeki kok malah sakit, kepiye to lek.” Jawab Lastri, sambil menyodorkan jamu dari gelas bathok kelapa.


Lastri memang terkenal dikalangan para penarik becak, usianya masih 20 tahun, berasal dari dusun Krisik, kecamatan Wlingi, kabupaten Blitar. Lastri sudah hampir dua tahun merantu di kota Malang, meneruskan kuliah disalah satu Perguruan Tinggi Negeri, di fakultas pertanian. Di Malang ia tinggal berdua, menyewa kamar kos berukuran 4 x 5 meter bersama Dina, teman kuliahnya. Lastri orangnya supel, beda dengan Dina yang enggan bergaul dengan tetangga sekitar kosnya. Dari latar belakang ekonomi, Dina lebih berutung dibandingkan Lastri, ayah Dina seorang kepala desa sedangkan Lastri anak buruh tani.


“Kamu baru jalan ya Tri?” tanya lek Karto setelah meneguk sebathok jamu.


“Iya lek, tadi habis kuliah terus jalan, wong kuliahnya cuma satu jam.”


“Lek karto hari ini panen ya, mbok sesekali aku ditraktir di Pizza Hut.”


“Apa, Pizza Hut! Duit gambar Gareng po!”


“Nggak, nggak lek, aku Cuma guyon kok. Lha kae lho, lek Kardi karo mas Sunar dari Pizza Hut, tapi ya cuma ngantar cik Yenny dan mamanya, heheheheh.”


Tak lama kemudian Sunar dan Kardi menghampiri Lastri yang masih memegang gelas bathok bekas minuman lek To. “Tri, buatkan aku jamu pegel linu yo?” perintah Sunar dengan napas masih terengah-engah.


“Wah! Semua kok pada pegal-pegal, pasti juga baru panen ya?” gurau Lastri sambil mengaduk-aduk jamu racikannya dengan sedok yang terbuat dari logam tembaga.


“Iya Tri, tadi kami baru saja nagantar cik Yenny dan mamanya belanja ke Pasar Besar. Beratnya minta apun.” Balas lek Kardi sambil bergurau.


“Aku kok jadi mikir ya, berarti kita-kita ini sama-sama menguntungkan lho?”


“Menguntungkan model apa Tri, Tri.”


“Lha iya to, njenengan-njenengan kuwi sing kesel lan panen, aku yo melu menikmati hasile to.”


“Woooo dasar mata duitan kowe Tri.” Timpal lek karto, yang kemudian melanjutkan mengayuh becaknya.


Lastri adalah salah satu mahasiswi yang mungkin kurang beruntung bila dibanding dengan teman-temannya. Namun dibalik yang bagi orang lain kurang, Lastri memiliki semagat yang mungkin menjadi kekurangan bagi teman-temannya. Saat Lastri mencari uang membantu orang tuanya untuk biaya kuliahnya dengan menjual jamu gendong, ditempat lain justru teman-temannya bersenang-senang di mal. Bagi Lastri itu adalah fakta dan bukan untuk diperdebatkan. Baginya hidup itu sudah memilki jalannya masing-masing, tinggal kita saja mau memilih jalan yang mana.


Pernah suatu kali Lastri berjumpa dengan teman-teman kampusnya sewaktu jualan jamu didekat stadion Gajayana, kebetulan saat itu sedang ramai-ramainya para penarik becak beristirahat. Jamu dagangan Lastri habis dalam waktu satu jam, namun bukan penghargaan yang diterima Lastri dari teman-temannya, malah cacian yang diterimanya. Selang sehari, di kampusnya sudah menjadi bahan pembicaraan, bahwa Lastri adalah cewek penghibur para penarik becak.


Bagi Lastri peristiwa itu bukan menjadikan dirinya patah semangat, malahan menjadikan dirinya tegar. Bagi Lastri, orang membuat gossip karena tidak tahu keadaan yang sebenarnya. Emangnya gue pikirin J


Sampai hari ini, saat kutulis tulisan ini aku masih sering melihat Lastri berjalan dengan kebaya lurik khasnya, menggendong botol-botol bekas botol sirup di punggungnya.


Selamat berjuang Lastri, semoga impianmu dapat kau raih.

ASIKNYA MENDESAIN COVER BUKU


Suatu ketika saya mengunjungi teman-teman di salah satu perusahaan penerbitan buku yang tiap hari kerjaannya bergelut dengan dunia desain, khususnya desain cover buku.Yah, meskipun mereka masih dibilang anak baru kemaren tetapi sudah mampu menciptakan sebuah karya seni intelektual.


Dunia penerbitan memang sangat kompleks, tahap demi tahap harus dilalui untuk menciptakan sebuah karya, mulai dari hunting naskah sampai menjadi sebuah buku yang layak dikonsumsi bagi penikmat buku.


Menurut mereka, mendesain sebuah cover buku lebih sulit jika dibandingkan dengan mendesain sebuah materi publikasi semisal, poster, spanduk, leaflet, banner dll. (meskipun hanya font dan ilustrasi) Kenapa lebih sulit? Karena tema desain harus sesuai dengan isi buku, hal ini terkadang membuat desainer tidak bisa meng-eksplore kemampuannya untuk berimajinasi bebas. Mereka seringkali merasa dibatasi oleh tema buku, sehingga semakin sempit ruang untuk menuangkan kreativitasnya.


Mendesain cover buku harus tahu isi buku secara keseluruhan supaya tidak terjadi salah komunikasi secara visual dengan penikmat buku, nantinya. Tidak lain tujuannya adalah menjembatani komunikasi dari isi buku secara keseluruhan kedalam bahasa visual supaya calon penikmat buku dapat menerka-nerka isi buku. Seringkali untuk mendesain cover buku dibutuhkan waktu yang agak lama, meskipun bisa juga dibuat dengan cepat.



Lalu bagaimana dengan mendapatkan sebuah ide, gagasan maupun imajinasi untuk menuangkan kedalam bahasa visual. Banyak dari teman-teman desain yang hunting di internet, melihat desain-desain dari cover buku milik penerbit buku terkenal dunia, lalu dikombinasi dengan kreativitasnya sendiri. Atau juga bisa mengeksplore imajinasi mereka sendiri dengan membaca buku tentang desain atau duduk diatas toilet. Dan masih banyak cara untuk mendapatan sebuah ide yang kreatif J


Ratap




Dimas hampir saja melemparkan lilin yang masih menyala itu ke tirai ruang makan. Lilin yang terbuat dari minyak kelapa sawit itu masih digenggamnya dan hampir saja Dimas membakar rumahnya kerena kecewa tidak dibelikan sepeda motor.


“Jangan… jangan… nak! Taruh kembali lilin itu!” Bu Sumi menahan tangan kanan Dimas yang masih menggenggam lilin.


“Tidak! Ku bakar saja rumah ini.” Berontak Dimas.


“Ya sudah nak, nanti ibu akan bicarakan dengan ayahmu.” Sesaat saja keributan itu menghiasi ruang makan, namun dengan kelembutan hati seorang ibu, akhirnya bu Sumi dapat meluluhkan puteranya.


Keharmonisan keluarga bu Sumi memang sedikit terganggu semenjak pak Dirjo, ayahnya Dimas, menikah lagi dengan wanita muda anak pengusaha restoran Jawa. Sebelum menikah yang kedua kalinya pak Dirjo selalu memanjakan Dimas, apapun permintaan Dimas pasti dituruti, apalagi dimas adalah anak satu-satunya.


Suatu ketika bu Sumi divonis terkena kanker payudara, yang diketahui sudah stadium lanjut. Karena itulah pak Dirjo memutuskan menikah lagi dengan alasan istrinya sudah tidak bisa melayani kebutuhan seksualnya. Akhirnya dengan berat hati bu Sumi pun mengiklaskan suaminya untuk menikah lagi.


Dimas yang saat itu sudah menginjak usia 15 tahun merasa malu karena ayahnya menikah lagi. Apalagi teman-teman sekolahnya selalu mengejek setiap kali bertemu dengannya. Dimas merasa minder dan mencari pelampisan lain. Sejak saat itu sikap Dimas berubah, dan sering melawan ibunya dengan ancaman akan membakar seluruh rumahnya.


***


Empat hari kemudian pak Dirjo mengunjungi istri pertamanya. Saat berbincang dengan bu Sumi di ruang tamu, Dimas pun malah sibuk bermain game bersama teman-temannya. Perbincangan suami istri itu terasa kaku, tidak terlihat lagi kemesraan seperti saat mereka masih pacaran dulu. Pak Dirjo menyerahkan amplop berwarna cokelat bertuliskan Air Mail. “Ini bu, katanya Dimas pengen sepeda motor, uang ini sudah lebih dari cukup, sisanya simpan saja untuk kebutuhan yang lain.”


Bu Sumi hanya mampu menatap wajah suaminya dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih pak, mungkin bagi bapak uang ini tidak seberapa, namun akan lebih penting jika saya melihat Dimas bahagia.”


Pak Darto menarik napas dalam-dalam mendengar pernyataan istrinya, dengan kata lain bu Sumi lebih senang jika keluarganya bersatu kembali.


Memang, semenjak menikah dengan Rasih, pak Dirjo tidak tinggal bersama dengan Dimas. Pak Darto lebih sering tinggal bersama janda beranak dua di perumahan elit. Dua atau tiga bulan sekali pulang ke istri pertamanya, itupun biasanya hanya tiga hari saja.


***


Perbincangan yang terkadang tapa kata di ruang tamu itu sudah berjalan dua jam lebih. Pak Dirjo bangkit dari duduknya, “ya sudah bu, saya pulang dulu, saya tidak bisa berlama-lama disini.”


Bu Sumi mengangguk, pertanda pasrah. Dimas hanya melempar senyum sinis melihat ayahnya melambaikan tangan, seakan sudah tidak mengenal ayahnya sendiri.


Seminggu kemudian motor baru Dimas datang, wajah Dimas memancarkan kegembiraan menyambut motor barunya, namun ada rasa bahagia dan takut dalam hati bu Sumi saat Dimas mulai mengelus-elus motor barunya. Ibunya pun tidak boleh meyentuh motornya apalagi teman-temannya. Sikap Dimas mulai berubah. Dalam sehari, sepulang sekolah, sudah lebih dari sepuluh kali Dimas berputar-putar dengan motor barunya keliling kampung. Tidak lain pamer kepada tetangga dan teman-teman kampung.


Dengan penuh kebangaan Dimas pun ikut dalam gang motor di sekolahnya. Kini Dimas tidak malu lagi dengan teman-teman yang dulu pernah mengejeknya, justru ia kini menjadi bagian dari mereka.


Belum genap dua bulan bergabung dengan gang motor Dimas ditangkap Polisi bersama dengan anggota gang lainnya. Tidak hanya urusan kebut-kebutan dan mengganggu ketertiban, Dimaspun juga positif menggunakan narkoba.


Suara bel pintu berbunyi nyaring beberapa kali, “ada apa Wan?” Tanya bu Sumi.


“Dimas bu, Dimas.”


“Iya, ada apa dengan Dimas?”


“Dimas ditangkap Polisi.”


Bu Sumi lemas tak sadarkan diri. Wandi, teman Dimas berteriak minta tolong sambil memegangi tubuh bu Sumi supaya tidak jatuh ke lantai.


“Ada apa Wan?” Tanya seorang warga.


“Bu Sumi pingsan, pak. Saat saya memberitahukan bahwa Dimas ditangkap Polisi”


Tampak wajah bu Sastro semakin pucat.


Tidak begitu lama, pak RT dan warga yang lain datang dan melihat wajah bu Sumi sudah semakin pucat dan dingin.


Ditengah malam dipinggiran kota, dering handphone pak Dirjo berbunyi memecah malam saat bersama istri mudanya sudah terlelap dipeluk dewi mimpi. Pak dirjo melirik layar LCD handpone dengan mata yang setengah terbuka dan mengangkatnya.


“Halo!”


“Bisakah bicara dengan Dirjo?”


“Ini siapa?”


“Saya Budi pak, RT bapak di kampung.”


“Iya, ada apa pak Budi, kok nelpon malam-malam?”


“Bigini pak, sebaiknya malam ini bapak pulang ke kampung karena istri bapak meninggal dunia lima belas menit yang lalu.”


Tampak tangan kiri pak Dirjo memgang dada kirinya dan selanjutnya pak RT hanya mendengar buyi tuuut…tuuut…tuuut…tuuut…


Keesokan harinya, dipemakaman sandingkanlah jasad suami istri itu, dan dibalik jeruji besi tubuh Dimas mengayun-ayun terlilit ikat pinggang dengan mata membelalak dan lidah yang menjulur keluar.



Malang, 24/10/08