Monday, October 6, 2008

Kok Jadi Buku Obral!

Ketika saya berkunjung ke Yogyakarta dalam agenda kerja saya. Saya menyempatkan mampir dalam sebuah event book fair yang bisa dibilang berskala nasional, yang pasti lebih dari 100 penerbit yang mengikuti. Dari berbagai acara yang tertera pada banner di pintu masuk dari tahun ketahun tidak ada yang berubah, seperti yang selalu saya lihat di event-event sebelumnya, mulai dari “Jumpa pengarang”,” Talk Show”, “Bedah Buku”, “Workshop seputar jurnalistik, komputer dan karya tulis”, “Lomba Menggambar”, “Lomba Mewarnai”, selalu menghiasi papan acara dipintu masuk. Apa menariknya jika acara yang disajikan monoton setiap tahunnya? Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang paling sering mengadakan “pameran buku”. Banyak EO (event organizer) seperti buka buku production, shaka organizer dll yang berlomba untuk mengadakan event, meskipun ada juga yang hanya sebuah EO dadakan. Ya, itung-itung bagi bagi rejeki lah J.

Lalu apa yang menarik dari acara semacam ini, yang digelar berulang kali hingga setahun bisa mengadakan event pameran sampai 6 kali. Salah satu yang menarik adalah kita lupa akan kemampuan produksi dan kapasitas produksi dari suatu produk yang kita hasilkan. Bertumbuhnya pemain-pemain baru dalam dunia penerbitan tidak bisa kita pungkiri karena sudah menjadi trend di Indonesia, kita selalu ingin mengikuti jika orang lain sukses dalam bisnisnya. Seringnya pameran buku baik yang bersifat local maupun nasional merupakan fakta bahwa pengusaha penerbitan buku kurang memperhitungkan space market/daya tampung pasar,
yang akhirnya kita kebinggungan untuk menjualnya.
Menariknya ada sebuah stand yang hanya membiarkan koleksi buku-bukunya berserakan di stand tanpa didislpay. Hanya dijual dengan empat harga, yaitu; Rp 5.000,- Rp 10.000,- Rp 15.000,- Rp 20.000,- siapa yang tidak tertarik dengan harga semuarah itu, padahal kalau kita cek harga di toko buku Gramedia atau Toga Mas jauh lebih mahal. Apakah akhirnya, yang sering disebut-sebut dengan karya intelektual harus bernasib di sebuah stand pameran buku obral?

Estetika, mungkin bagi sebagian penerbit sudah melupakan dalam mendesain stand, meskipun ada beberapa penerbit besar yang tetap memertahankan estetika stand karena image perusahaan. Stand dibuat semenarik mungkin menurut ukuran kantong, banyak juga tulisan obral bergantungan di masing-masing stand. Ada yang menuliskan diskon gede-gedean hingga 70%, ada yang langsung menuliskan Cuma Rp 5000, aja, ada pula yang hanya menuliskan diskon 10% dan masih banyak kreativitas menulis lainnya,
yang lebih ekstrim lagi ada sebuah stand dengan sengaja menyebar hasil karya intelektual ini ke lantai stand, seperti yang dilakukan oleh Yusuf Agency.

Didalam tulisan ini saya mencoba untuk mencari beberapa factor yang kemungkinan memengaruhi mengapa penjualan buku, khususnya di Indonesia banyak yang masuk dalam kategori buku obral.

1. Tidak ada servey pasar. Ini jelas sekali sering diabaikan oleh pihak penerbit karena bagian produksi buku (redaksi) merasa pandai/merasa intelek dalam memilih buku yang diprediksi akan laku dijual di pasar. Namun justru pasar berbicara lain, setalah buku terbit malah tidak ada buku yang terjual.
2. Kurangan pengetahuan bisnis bagi bagian produksi (redaksi) dalam memilih naskah yang market oriented, sehingga hanya karena menurut kata hati saja sebuah buku akan diterbitkan.
3. Tidak tersegment dengan tepat.Seharusnya sebuah buku ketika masih embrio bagian produksi sudah harus tahu segmen pasar apa yang nantinya harus di bidik. Bukan sebaliknya mensegmentasi pasar setelah buku itu siap didistribusi. J
4. Judul Buku Yang “Ngawur”. Jangan Asal Menarik menurut persepsi desainer. Judul buku tidal asal bunyi. Maksimal hanya lima sampai enam kata. Contoh, buku best seller nasional karya Tung Desem Waringin berjudul The Financial Revolution, Cuma ada dua kata saja. Tidak ada kata dalam pembuatan judul buku. Factor lain yang memengaruhi adalah ketidaksesuaian antara isi dan judul buku. Ini akan berpengaruh terhadap konsumen karena merasa dirugikan.
5. Timing distribusi tidak tepat. Moment-moment penting dalam me-launching buku juga perlu dipertimbangkan karena pasar sendiri yang membuat trend.
6. Distribusi yang tidak merata. Sudah susah payah beriklan/berkampaye, penyebaran buku tidak merata. Ini salah satu bagian yang juga tidak bisa diabaikan karena perencanaan yang kita buat kurang matang. Seharusnya sejak awal kita sudah tahu kemana saja sebuah buku akan didistribusikan. Bukannya buku sudah jadi baru kita memikirkan penyebarannya.
7. Tidak Melakukan Book Campaign Book Campaign sangat perlu karena salah satu cara untuk mengenalkan sebuah buku ke konsumen, meskipun misalnya harus menggunakan cara seperti road show dan jumpa pengarang dengan mennggandeng artis/public figure.
8. Mengabaian Desain Cover. Sama dengan “ngawur/asal-asalan dalam mendesain cover buku sangat berdampak pada penjualan buku itu sendiri. Mestinya buku yang bagus otomatis bisa menjual dirinya sendiri tetapi karena cover yang dibuat asal-asalan tadi justru membuat masuk dalam kategori buku obral.
9. Kualitas cetak dan jilid. Nah… ini juga salah satu yang paling fatal. Font, colour, theme, spasi dll serta kekuatan lem jilid sangat berpengaruh terhadap konsumen. Terkadang kualitas cetak dan jilid ini menjadi prioritas yang kesekian sehingga kurang begitu terkontrol. Dampaknya konsumen akan menanggung kecewa.Dll. Masih banyak yang lainnya
10. …
11. Semoga bermanfaat

2 comments:

Anwar Agus Abidin said...

Dari berbagai acara yang tertera pada banner di pintu masuk dari tahun ketahun tidak ada yang berubah, seperti yang selalu saya lihat di event-event sebelumnya, mulai dari “Jumpa pengarang”,” Talk Show”, “Bedah Buku”, “Workshop seputar jurnalistik, komputer dan karya tulis”, “Lomba Menggambar”, “Lomba Mewarnai”, selalu menghiasi papan acara dipintu masuk. Apa menariknya jika acara yang disajikan monoton setiap tahunnya?

"semua orang mampu kritis mas, bayipun juga bisa kalo cuma mengkritisi(menangis), alangkah bijaknya jika anda pun memberi solusi"

Menariknya ada sebuah stand yang hanya membiarkan koleksi buku-bukunya berserakan di stand tanpa didislpay. Hanya dijual dengan empat harga, yaitu; Rp 5.000,- Rp 10.000,- Rp 15.000,- Rp 20.000,- siapa yang tidak tertarik dengan harga semuarah itu, padahal kalau kita cek harga di toko buku Gramedia atau Toga Mas jauh lebih mahal. Apakah akhirnya, yang sering disebut-sebut dengan karya intelektual harus bernasib di sebuah stand pameran buku obral?

"riset dulu mas, penulis mana yang rela bukunya hanya jadi pajangan, penulis mana yang keberatan bukunya di-yusuf acency-kan."

admin said...

Terima kasih mas Anwar, sudah mampir di blog saya.
menarik nih, komentar dari mas Anwar,
Tentu saja tidak semua buku bernasib sama, ada yang best seller (fast moving) ada pula yang slow moving, namun ada juga yang santai-santai saja terjualnya, ada juga yang ever green (terjual terus menerus).
Beberpa pameran buku yang pernah saya kunjungi memang bertujuan untuk “obral” buku, karena buku yang dijual dengan diskon “gila-gilaan” memang buku yang slow-moving. Tidak mungkin kan buku yang fast-moving di diskon besar-besaran. Pameran buku (Indonesia) adalah salah satu cara untuk menghabiskan buku-buku “tidak laku” atau “cuci gudang”, karena berbeda dengan di frankfurtbookfair .

Jika sebuah buku diobral, pasti penerbit sudah memperhitungkan untung ruginya, dan itu sah-sah saja. Tentu sebelumnya pasti sudah ada surat perjanjian kerjasama antara pihak penulis dan penerbit.

Salah satu cara untuk meminimalkan biar tidak cepat menjadi buku obral ya dimulai dari kerjasama penulis dan penerbit. Type penulis ada dua, penulis aktif dan pasif. Penulis aktif adalah penulis yang mampu memasarkan buku-nya sendiri, biasanya memiliki komunitas atau mampu membangun komunitas baru. Penulis yang aktif akan sangat membantu penerbit dalam memasarkan buku, karena pihak penerbit hanya sebagai supporting saja. Namun tidak semua penulis aktif dalam memasarkan buku-buku terbitannya. Maaf, banyak juga penulis pasif, dengan kata lain tidak aktif dalam memasarkan buku. Namun alangkah baiknya biar tidak menjadi buku obral penulis mengomunikasikan dengan pihak penerbit jalan terbaik supaya tidak di pajang, maaf mas Yusuf, di di-yusuf acency-kan