Sunday, November 4, 2007

anjing dan Raja

KISAH ANJING DAN RAJA

Sebenarnya aku sudah mengakui semua kejadian yang menimpa kemarin siang kepada seorang atasanku, dan memang kalau dihitung secara finansial sangat merugikan perusahaan. Ya, sesuatu yang tidak sengaja dan diluar kendaliku terjadi begitu cepat hingga tak sempat untuk menghindari bahkan melawan kejadian itu. Seekor anjing hitam itu mati, terseret mobilku. Anjing itu tiba-tiba sudah ada di depan mobilku saat aku melintasi jalan raya sewaktu perjalanan pulang dari dinas luar kota. Bagaimana mungkin aku bisa mengelak dari kejadian tersebut. Jarak yang membuat semua itu terjadi begitu dekat, anjing itu berada kurang lebih hanya dua meter di depan mobil yang aku kendarai. Dan hanya selang bebarapa detik kemudian anjing itu sudah ada di bawah mobil. Aku tak tahu persis apa yang terjadi saat anjing itu berada dibawah mobil. Mungkin mobilku menyeretnya hingga menguluti kulitnya. Aku tidak menghiraukan anjing itu, melainkan aku berpikir bahwa ada sesuatu terjadi pada mobilku. Suara derit suatu benda mengiris jauh kedalam telinggaku. Aku mengurangi kecepatan mobil dan berhenti kurang lebih dua ratus meter dari tempat kejadian. Aku mematikan mesin dan sistem pendingin (Air Conditioner). Aku turun memerikasa bagian depan (bemper) mobil. Namun tak ada tanda-tanda kerusakan dan hanya seperti ada bau danging yang yang terbakar. Aku kembali menghidupkan mesin, ternyata tidak terjadi apa-apa. Lalu aku mencoba menghidupkan sistem AC dan lansung saja terdengar bunyi derit yang begitu keras. Dan akhiraanya aku matikan saja sisitem AC-nya. Ternyata akibat benturan dengan anjing itu merusakan bagian kondensor AC. Selanjutnya untuk pulang ke kantor aku tidak menghidupkan sistem AC walaupun cuaca saat itu panas, samapi titik-titik air keluar dari pori-pori kulit.
Bagiku peristiwa itu merupakan suatu pelajaran yang sangat berharga. Manusia tidak akan pernah tahu pasti tentang suatu kejadian yang akan terjadi walaupun itu hanya sedetik.
Nada-nada sumbang mulai diperdengarkan di telingaku setelah kejadian itu. Rock, pop, jass dan dangdut sangat jelas masuk ketelinggaku. Banyak yang medengar dan ikut-ikutan bernyanyi namun tak seindah suara penyanyinya. Ada pula yang hanya menempelkan daun telinga di daun pintu hanya sekedar utuk mendengar.
Hari baru tiba, saat aku sedang ngobrol dengan beberapa orang di pos satpam, aku lihat Pak De berjalan dengan santainya sesaat setelah ia turun dari mobil mewahnya, berjalan seperti orang yang kekenyangan dengan koper di tangan kanannya. Sesaat berhenti sejenak dan menebar seuntai senyum ke arahku sambil meninggikan alisnya. Akupun membalas senyum itu. Ya, hanya senyum yang ada di pagi itu saat aku berpapasan dengannya.
Anginkpun mengiringi senyum itu yang kekuatannya menghantam dan menggetarkan seluruh apa yang ada di sekitar ruangan Pak De. Suara itu jelas terdengar di telingaku, karena ruangan Pak De tidak jauh dari pos satpam. Aku sempat terkejut, namun entah apa yang terjadi didalam aku tidak tahu. Untunglah saat kejadian pagi itu belum ada seorang karyawan datang kecuali aku dan dua orang satpam. Aku juga bersyukur bahwa jantungku masih normal. Paling tidak aku bisa menebak apa yang terjadi di dalam ruangan Pak De. Mungkin masih ada kaitannya dengan peristiwa kematian seekor anjing kemarin siang.
Setelah berlalunya Pak De aku meneruskan berjalan keruang kerjaku melewati lorong yang berukuran satu setengah meter. Jarak ruanganku dengan ruangan Pak De agak jauh kira-kira dua puluh meter. Aku belum tahu banyak tentang Pak De. Siapa Pak De sebenarnya? Yang aku ketahui hanyalah bahwa Pak De adalah orang yang paling berpengaruh di perusahaan ini.
Sambil meletakkan tas yang sudah aku tenteng dari tadi aku mencoba melirik jam dinding yang tertempel di dinding ruang kerjaku. “Oh, ternyata masih pagi, masih pukul 08.00 masih banyak waktu luang pagi ini”. Seperti bisa aku datang paling awal diantara teman-teman sekerjaku. Sesaat aku terdiam, segera membuka-buka agenda kerja dengan menggris bawahi daftar pekerjaan penting yang akan aku lakukan.
Hujanpun tiba-tiba turun dengan derasnya bersama tiupan angin dingin yang membawa butiran air masuk ruangan, melewati jendela nako yang ada di samping meja kerjaku. Sebelum butiran-butiran air masuk terlalu banyak aku segera menahannya dengan menutup jendela nako yang ada disebelahku.
Beberapa saat setelah aku menutup jendela nako, sudah mulai terdengar langkah-langkah kaki bersepatu yang semakin lama semakin keras dan semakin banyak melewati lorong lorong ruangan dan akhirnya sunyi. Sambil mataku melirik ke arah jarum jam, “ ternyata sudah pukul 09.00 ”, rekan-rekan kerjaku sudah mulai berdatangan dan memasuki ruang kerjanya masing-masing. Sebentar suasana menjadi sunyi, karena biasanya setelah jam masuk ada briefing oleh kepala bagian.
Sayup-sayup mulai aku dengar lagi dari dalam ruangan, entah suara dari radio, tape, tv atau multimedia lain. Rock, pop, jass, dangdut, itu lagi yang aku dengar dari dalam ruagan kerjaku. Aku mencoba menutp telingga namun suara itu malah merasuki pikiranku dan menjalar melalui saraf-saraf hingga menuju ujung rambut. Panas sekujur tubuhku akibat dari sistem peredaran darah yang tidak normal, kemudian juga mengalir ke dalam sumsum tulang-tulangku. Entanh mengapa aku benci dengan suara itu hingga memporak porandakan pikiranku. Namun sepertinya mereka menikmati irama musik itu, karena aku lihat ada menggeleng-gelengkan kepala ke kiri dan kekanan sambil mengoyang-goyangkan badannya. Ada pula yang berjalan sambil menggoyang-goyangkan pantatnya. “Ini kantor apa pasar” kataku dalam hati.
Mendadak suasana menjadi sunyi, sepi tak ada suara apapun bahkan hujanpun reda dan anginpun beristirahat karena kelelahan. Anehnya, untuk menggetarkan pita suarapun terasa berat, rasanya seperti baru makan lem dan berhenti di sela-selanya.
Rasa penasaran mulai muncul dari pikiranku dengan apa yang terjadi, yang menjadikan semua sunyi, sepi. Aku melangkah keluar ruangan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Aku sendirian berdiri di depan pintu. Aku hanya melihat rekan-rekan kerjaku sudah bediri berjajar rapi, seperti mau ada rombongan peresiden pawai. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku biarkan saja diriku tetap berdiri sendiri di depan pintu. Sesat terdengar ada langkah kaki bersepatu yang semakin lama semakin dekat. Dan yang bisa kulakuakan saat itu hanya menerka-nerka kemungkinan yang akan terjadi. Saat aku sedang bermain dengan pikiranku mendadak dari balik pintu lorong Pak De muncul, berjalan santai seakan membawa beban berat karena tinggi badan dan beratnya tidak proporsional. Hingga aku tak sadar sampai lupa mengedipkan mata saat melihat kemunculan Pak De. Wajah Pak De memancarkan aura yang besar hingga bisa menundukkan wajah dan memejamkan mata orang lain yang menatapnya.
Bagaikan sorang raja yang baru keluar dari tempat peraduan Pak De berjalan ditengah-tengah rakyat jelata dan diringai oleh dayang-dayang istana. Semua rekan kerjaku tanpa terkecuali memberi hormat sambil membungkukkan badan. Seperti cara orang Jepang memberi hormat, semakin membukuk semakin hormat. “Beginikah cara menghormati orang lain di negeri ini?”
Sementara aku tetap berdiri di dapan pintu ruang kerjaku tanpa bergeser sedikitpun. Tanpa mengingkuti berbaris seperti yang dilakukan rekan-rekan kerjaku. Sekarang tiba giliranku, Pak De akan berjalan melewatiku. Ada pertentangan dalam batinku tentang sebuah kalimat, “ dimana bumi di pijak disitu pula langit harus di junjung”. Setelah bermain-maun dengan kalimat itu, ternyata aku harus tetap berpegang pada perinsipku senndiri “bumiku bukan bumimu dan langitku bukan langitmu”, jadi aku hanya menginjak bumi dan menjunjung langitku karena aku tidak mungkin menginjak bumimu dan menjunjung langitmu.
Sekarang Pak De sudah berada tepat di depanku untuk lewat, aku tidak memberi hormat seperti yang dilakukan rekan-rekan kerjaku bahkan aku malah menatap wajahnya. Pak De hanya tersenyum saat lewat di depanku, seuntai senyum juga aku membalasnya. Dan selanjutnya setelah iring-iringan itu berlalu kami kembali bekerja sebagaimana mestinya.
Jam kantor hanya sampai pukul 17.00 dan hujan masih menyisakan kejayaannya. Aku melanglah ke gerbang kantor. “Bang! Becak bang”, aku mengundang abang becak yang ada di seberang jalan. Becakpun menyeberang jalan menuju tempatku berdiri. Aku segera menaikinya dan dibungkus dengan plastik transparan.
Dalam perjalanan pulang aku masih sempat memikirkan siapa Pak De sebenarnya. Siapakah dia? Betapa besar pengaruhnya di perusahaan? Siapa yang menjadikannya raja? Dan bijaksanakah dia? Sampailah juga pikiranku berujung pada kisah seekor anjing yang sampai kini masih membayangiku dan mengganggu pikiran serta jiwaku. Aku dihantui rasa tidak tahu, yang selalu mengiringiku. Aku ingin suatu kepastian akhir dari sebuah kisah, tentang kejadian dengan seekor anjing yang sudah mati. Mungkin ini hanya fantasiku belaka, bermain dengan pikiran-pikiranku sendiri yang mungkin tidak bermutu bahkan tidak mempunyai makna dan arti.
Kurang lebih sepuluh menit aku sudah tiba di tempat kost dan bungkus plastikpun dibuka. Sambil memberikan beberapa uang ribuan aku turun dari becak dan melangkah ke kamar kost. Segera aku membuka pintu dan melemparkan tas kerjaku ke meja serta menghempaskan tubuhku ke kasur busa berseprei putih. Aku terlelap. Aku terbangun saat ibu kost membangunkanku dan meeberikan sepucuk surat dari bunda. Aku segera membuka surat itu. Ternyata isinya hanya menanyakan kabarku saat ini. Karena bunda mempunyai firasat yang kurang baik dan bunda akan selalu mendoakan aku. Begitu isi suratnya, ringkas. Selesai membaca surat, aku segera melangkah ke kamar mandi menenteng handuk kecil di tangan kiriku.
Hand phone ku berdering bersahut-sahutan dengan suara perutku, aku segera mengangkatnya namun penelpon segera mematikannya. Ternyata hanya orang iseng yang kurang kerjaan, nomor hand phone-nya juga disembunyikan. Aku tak menghiraukannya. Aku segera keluar kamar, melangkah keseberang jalan menuju warung tenda bakmi jawa untuk memenuhi kebutuhan perut yang dari tadi sudah berdemonstrasi. Aku memesan satu peorsi bakmi basah pakai telor bebek plus es jeruk. Sambil menunggu pesanan datang aku membaca sebuah koran harian sore ibu kota. Aku sedikit mengerutkan dahi dan menajamkan pendengaranku saat dua orang yang duduk disebelahku menyebut-nyebut nama Pak De . Aku mencoba mendekati mereka dengan pura-pura membetulkan tempat duduk, sambil mengeser lebih dekat. Banyak juga informasi yang aku dapat dari orang itu. Namun kebenarannya juga perlu aku pertimbangkan dan pikirkan, karena mereka melihat dari sudut pandang yang berbeda. Bertolak belakang dengan Pak De yang aku tahu dari rekan-rekan kerjaku.
Pesananku tiba, aku segera menyantapnya sambil masih mendengarkan orang disebelahku memebicarakan Pak De. Entah mengapa mereka begitu antusias membicarakannya.
Kusudahi pula acara untuk menyenagkan lidah dan perutku. Aku kembali pulang menyeberangi jalan dan masuk ke kamar kost.
Dalam malam menjelang tidur aku sempat memikirkan Pak De. Dan tambah satu hal lagi yang baru aku ketahui, ternyata Pak De bukanlah orang pemilik perusahaan itu, melainkan hanya orang kepercayaan dari seorang yang lebih berkuasa. Siapa orang yang lebih berkuasa itu, aku masih belum tahu. Aku berharap suatu saat akan mengetahuinya dengan berjalannya waktu.
Dengan bertambahnya informasiku tentang Pak De, aku juga berfikir mengapa rekan-rekan sekerjaku mengganggap dia raja. Yang selalu dihormati dan disegani, bahkan menatap sepasang matanyapun tidak berani. Mungkin apa aku yang tidak memiliki sopan santun ala negeri ini. Memang kultur budaya dan adat istiadat di tempatku berbeda dengan negeri ini walaupun tidak semuanya.
Pesta Hari ulang tahun perusahaan tiba. Karena usia perusahaan yang sudah puluhan tahun pestanyapun dibuat meriah. Perusahaan ini memang sudah dikenal cukup luas baik di dalam negeri maupun luar negeri.. Para panitia juga tidak lupa mengundang beberapa media massa untuk meliput acara tersebut. Desain panggung di set seperti saat konsernya grup musik kantata taqwa. Pokoknya meriah sekali, dan baru kali ini aku merasakan dan mengalami acara ulang tahun perusahaan besar sebesar ini..
Dengan berlangsungnya acara ulang tahun itu sebenarnya aku berharap aku bisa mendapat informasi yang banyak tentang Pak De. Perkiraan ku tidak meleset. Ternyata benar, aku sekarang sungguh-sungguh tahu tentang siapa sebenarnya Pak De. Dan mengapa dia dianggap sebagai raja?
Sekarang muncul lagi pertanyaan dalam pikiranku, “bijaksanakah Pak De?” “Apakah ia akan lebih bijaksana bila dibandingkan dengan seekor anjing yang telah mati terseret mobilku?”

Yk,01/05/06
* * *

No comments: