Sunday, November 4, 2007

AKU MELIHAT TUHAN DIPERSIMPANGAN JALAN

AKU MELIHAT TUHAN DIPERSIMPANGAN JALAN

Terkadang, aku melihat orang-orang yang berada dibalik kaca-kaca itu sesekali mencibirkan bibirnya saat melihatku. Ketika aku tatap kaca-kaca serba gelap berlalu lalang didepanku yang kulihat hanya pantulan diriku saja, sedangkan mereka bisa melihat dengan jelas siapa yang berada diluar. Entahlah, aku juga tidak tahu mengapa mereka membatasinya seperti itu. Mungkin mereka tidak mau mau dikenal orang lain seperti kami. Mungkin juga karena melihat penampilanku yang apa adanya, kaos dekil banyak tambalan disana-sini, bau keringat, borokan serta wajah yang tak terawat, mereka enggan untuk membuka kaca meskipun hanya beberapa sentimeter saja.
Wajahku yang polos dan kekanak-kanakan seringkali menjadi bahan ejekannya bersama dengan anak-anaknya, seakan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat bahwa ini adalah sebuah fakta dan realita. Mungkin mereka mengira bahwa aku dipaksa untuk bekerja seperti ini oleh preman-preman jalanan atau mungkin mereka menuduh aku anak-anak gelap dari gelandangan atau, aku hanya anak jalanan gadungan yang minta dikasihani. Tapi persetan dengan semua anggapan itu. Ya, mereka bisa saja berbicara tentang aku dan kami karena mereka tidak mengenal kami. Rasa ingin tahupun tidak pernah ada, apalagi rasa ingin mengenal.
Seandainya sewaktu dalam kandungan bunda aku boleh meminta kepada Tuhan, aku akan meminta jangan dilahirkan ditempat dan dalam keadaan seperti ini, mungkin aku bisa duduk dibalik kaca-kaca itu dengan kemewahan-kemewahan didalamnya. Tetapi aku tidak akan mencibirkan bibir kearah teman-temanku. Siapa yang bisa meminta demikian kepada Tuhan. Pasti Tuhan punya rencana yang lebih baik buat aku. Aku tahu betapa kerasnya hidup ini dan aku sebenarnya juga tidak ingin hidup seperti ini. Jika kehidupanku seperti ini terus, pasti banyak yang bilang bahwa kehidupanku tidak normal, perusak keindahan wajah kota atau aku digolongkan sebagai kaum marjinal, seperti yang sering mereka sebut-sebut dan mereka bicarakan. Persetan dengan sebutan itu. Kami pun sudah seringkali dikejar-kejar oleh wajah-wajah beringas dan bersenjata, namun mereka tidak pernah menyediakan tempat baru bagi kami. Mereka sewenang-wenang, tidak berperikemanusian, menelantarkan dan meneror kami, hingga kami tidak lagi beroleh rasa aman, tidurpun tidak bisa nyenyak apalagi mimpi indah. Dan sebagai rekasi bagi kami, kami kembali lagi hidup dijalanan setelah mereka pergi.
Memangnya kehidupan yang normal itu hanya dibalilk kaca-kaca itu? Tidak. Aku rasa kehidupanku normal, yang tidak normal justru mereka yang berada dibalik kaca-kaca itu, seperti dalam peti mati yang dibawahnya diberi pendingin dari es batu bercampur formalin.
Sejak kecil aku diajar hidup dari tutup-tutup botol bekas, menancap pada kayu segenggam ukuran tangan serta panjang dua belas sentimeter dengan paku karatan sepanjang lima centimeter. Suara gemericik tutup-tutup botol itulah yang menjadi guru dan mengajari aku hidup. Aku diajar oleh alam dan bau khas karbondiokasida yang setiap saat juga siap membunuhku. Panas terik sinar matahari sudah aku angkat menjadi ayahandaku sedangkan malam beserta bintang dan bulannya menjadi bundaku. Aku bangga padanya karena mereka selalu datang bergantian, kala siang ayah yang selalu menjagaku dan ketika malam mulai menjelang bunda selalu hadir menidurkanku. Jika aku membutuhkannya mereka berdua, mereka juga akan hadir dikala senja dan fajar. Bukankah gelap selanjutnya menjadi terang, seperti dalam kandungan bunda. Aku menganggap mereka sebagai guru karena selain dia tidak ada yang mengajarkan kehidupan.
Orang yang katanya berpendidikan terkadang malah menjadi musuhku karena mereka tidak mau mengenal aku, lebih ekstrimnya mereka mencoba membunuhku perlahan-lahan dengan sisa-sia korbondioksidanya dikala aku sedang tertidur. Seringkali jika aku melihat mereka, mereka itu terlihat seperti sarimin si kera yang dapat bermain dengan beberapa alat mainan anak. Hiburan kami dikala senja di rumah pak RT.
Setiap malam terkadang aku merindukan bunda tapi aku tidak tahu wajahnya. Aku bingung membentuk dan melukis wajahnya. Terlalu agung buatku. Aku ingin menemukan wajahnya tetapi, setiap kali aku tanyakan pada bulan dan bintang jawabnya pasti, salah satu diantara bintang itu adalah bundamu. Akhirnya aku putus asa mencari dimana bundaku. Mungkin jika bunda tahu bahwa aku diajar oleh alam, bunda akan sedih dan menagis karena tidak bisa menemani dan membimbingku. Akan lebih sedih lagi kalau aku melihat bunda menangis. Aku ingin membahagiakannya supaya senyumannya terus merekah menemani aku, seperti pelukannya diwaktu malam yang sudah menjadi langit-langit kamarku dan asap karbondioksida menjadi selimutku.
Rasa cemburu buatku sudah mati, aku ingin menjadi diriku sendiri dengan menampilkan identitasku. Identitas yang menampilkan kerasnya hidup sebagai anak jalanan. Setiap hari aku melihat anak-anak seusiaku berjalan melewati kami, penuh dengan tawa ceria, berpakaian rapi, semuanya berseragam dan semua itu sudah menjadi pemandangan setiap hari di dekat persimpangan lampu merah. Sebenarnya kami ingin bermain bersama mereka, tetapi tempat itu selalu terkunci dengan kunci besar yang mengkilat menyilaukan mata kala terkena sinar matahari. Seperti kata nyonya-nyonya besar yang melarang anaknya bergaul dengan kami, “Jangan bergaul dengan mereka, mereka tidak pantas menjadi temanmu, carilah teman yang sederajat dengan kita!”
Setiap Senin kami hanya bisa mendengar suara nyanyian lagu Indonesia Raya berkumandang dan pembacaan teks Pancasila dibacakan dengan lantang. Tetapi nyanyian dan teks itu hanya seperti sebuah putaran kaset usang dan nadanya sumbang, mungkin karena yang menyanyi dan yang membacakan masih anak-anak. Meskipun kami hanya bergerombol didepan pintu sekolah yang terkunci, kami senang bahwa lagu dan teks itu tidak terlupakan. Dan setelah nyanyian itu selesai kami berusaha untuk menghafal dan menyanyikannya sendiri untuk kami.
Aku sendiri menyadari, memang kalau mereka menilai kami dari sisi sopan santun, kami masih jauh dari yang diharapkan masyarakat. Mungkin kami tidak memiliki sebuah etiket seperti yang mereka harapkan. Terang saja kami belajar dari alam sedang mereka belajar dari kehidupan yang terdidik. Jika mereka menuntut sopan satun mengapa mereka tidak menghargai kami. Jika mereka menuntut kami berpenampilan rapi mengapa mereka juga tidak mengajari kami. Dan jika mereka menuntut bagaimana supaya kami pantas menjadi teman anak nyonya-nyonya besar itu, mengapa meraka juga tidak membebaskan anak-anak mereka untuk berteman dengan kami. Aku pikir mereka bermulut besar. Jurang itu memang sangat lebar dan dalam, sampai-sampai kami tidak bisa menyeberangi karena tebalnya kabut yang menghalangi pandangan.
Memang tidak semua yang melihat kami selalu mencibirkan bibirnya, ada pula yang kasihan dengan kami. Pernah suatu ketika ada nyonya-nyonya yang baik hati memberikan beberapa potong pakaian, meskipun bekas tapi masih layak pakai. Dengan senang hati aku terima dan sebagian aku bagikan ke teman-teman lain. Apalagi si Ucok, panggilan akrab teman kami. Meskipun Ucok sedikit terganggu jiwanya kami sangat menyanyangi dia. Ucok memang sudah lama bergaul dengan jalanan melebihi kami. Ucok bangga waktu itu, melompat-lompat kegirangan sambil bernyanyi-nyanyi riang, menunjukan pakaian barunya kejalanan. Ya, dari pada dikala sedih dibentur-benturkan kepalanya ketrotoar. Kami senang jika Ucok bernyanyi-nyanyi meskipun suaranya seperti seng yang diseret-seret dari pada mengganggu orang-orang yang sedang lewat.
Namun, setelah memakai pakaian itu aku ingin kembali kepada diriku yang dulu. Aku rindu. Aku justru menjadi sedih karenanya. Aku ingin kembali menampilkan identitasku sebagai anak jalanan, yang benar-benar menampikan ciri khas anak jalanan. Ternyata pakaian yang bagus dan rapi tidak membuat aku bahagia, tetapi justru menjadikan kami kelaparan. Setiap kali aku membunyikan tutup-tutup botol itu disertai dengan nyanyian, mereka hanya melirikku. Tidak lebih dari itu. Aku pernah dalam waktu setengah hari, serupiahpun belum mendapat uang gara-gara memakai pakaian itu. Tetapi sangat berbeda apabila aku memakai pakaian kumal, banyak lubang disana-sini yang sudah menjadi identitasku. Mereka pasti akan memberiku uang receh jauh lebih banyak. Maka setiap kali aku mendapatkan pakaian dari orang-orang yang berderma pasti akan aku jual lagi ke pasar loak dekat stasiun kereta. Lumayan hasilnya, bisa untuk makan beberapa hari. Apa yang aku lakukan dengan menjual pakaian-pakaian itu bukannya aku tidak berterima kasih, tetapi dengan pakaian bagus itu justru memberikan beban yang lebih berat bagi aku. Karena oleh sebagian orang aku akan dipandang sebagai anak jalanan gadungan.
Aku pikir, biarlah aku menjadi anak jalanan sejati, jika ada orang yang beranggapan bahwa aku tidak mau berubah ya biarlah. Aku mencintai pekerjaanku meskipun mereka menganggap aku tidak beda dengan pengemis. Apa bedanya dengan mereka kalau aku menjadi pengemis yang baik. Bukankah yang aku lakukan lebih baik dari pada mencuri.
Aku juga merasa sedih, kala setiap pagi membaca koran yang aku pinjam dari tukang loper dipersimpangan tempat kami mangkal. Orang yang katanya berpendidikan malah sering mencuri. Aku pikir-pikir, ya lebih baik terangan-terangan jadi pengemis saja dari pada jadi pencuri berdasi.
Aku bangga menjadi diriku sendiri, menjadi miskin namun kaya dalam hal tertentu. Dan itu mungkin lebih baik dari pada berlimpah harta namun hanya sedikit yang didermakan. Setiap kali bangun tidur aku harus merasa gembira dengan apa yang ku terima. Dan aku berusaha untuk tidak sedih diwaktu bagun pagi biar seharian aku bisa menikmati hidup dengan penuh kegembiraan.
Malang, 6 Mei 2006
***

No comments: