Saturday, May 16, 2009

Ratap




Dimas hampir saja melemparkan lilin yang masih menyala itu ke tirai ruang makan. Lilin yang terbuat dari minyak kelapa sawit itu masih digenggamnya dan hampir saja Dimas membakar rumahnya kerena kecewa tidak dibelikan sepeda motor.


“Jangan… jangan… nak! Taruh kembali lilin itu!” Bu Sumi menahan tangan kanan Dimas yang masih menggenggam lilin.


“Tidak! Ku bakar saja rumah ini.” Berontak Dimas.


“Ya sudah nak, nanti ibu akan bicarakan dengan ayahmu.” Sesaat saja keributan itu menghiasi ruang makan, namun dengan kelembutan hati seorang ibu, akhirnya bu Sumi dapat meluluhkan puteranya.


Keharmonisan keluarga bu Sumi memang sedikit terganggu semenjak pak Dirjo, ayahnya Dimas, menikah lagi dengan wanita muda anak pengusaha restoran Jawa. Sebelum menikah yang kedua kalinya pak Dirjo selalu memanjakan Dimas, apapun permintaan Dimas pasti dituruti, apalagi dimas adalah anak satu-satunya.


Suatu ketika bu Sumi divonis terkena kanker payudara, yang diketahui sudah stadium lanjut. Karena itulah pak Dirjo memutuskan menikah lagi dengan alasan istrinya sudah tidak bisa melayani kebutuhan seksualnya. Akhirnya dengan berat hati bu Sumi pun mengiklaskan suaminya untuk menikah lagi.


Dimas yang saat itu sudah menginjak usia 15 tahun merasa malu karena ayahnya menikah lagi. Apalagi teman-teman sekolahnya selalu mengejek setiap kali bertemu dengannya. Dimas merasa minder dan mencari pelampisan lain. Sejak saat itu sikap Dimas berubah, dan sering melawan ibunya dengan ancaman akan membakar seluruh rumahnya.


***


Empat hari kemudian pak Dirjo mengunjungi istri pertamanya. Saat berbincang dengan bu Sumi di ruang tamu, Dimas pun malah sibuk bermain game bersama teman-temannya. Perbincangan suami istri itu terasa kaku, tidak terlihat lagi kemesraan seperti saat mereka masih pacaran dulu. Pak Dirjo menyerahkan amplop berwarna cokelat bertuliskan Air Mail. “Ini bu, katanya Dimas pengen sepeda motor, uang ini sudah lebih dari cukup, sisanya simpan saja untuk kebutuhan yang lain.”


Bu Sumi hanya mampu menatap wajah suaminya dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih pak, mungkin bagi bapak uang ini tidak seberapa, namun akan lebih penting jika saya melihat Dimas bahagia.”


Pak Darto menarik napas dalam-dalam mendengar pernyataan istrinya, dengan kata lain bu Sumi lebih senang jika keluarganya bersatu kembali.


Memang, semenjak menikah dengan Rasih, pak Dirjo tidak tinggal bersama dengan Dimas. Pak Darto lebih sering tinggal bersama janda beranak dua di perumahan elit. Dua atau tiga bulan sekali pulang ke istri pertamanya, itupun biasanya hanya tiga hari saja.


***


Perbincangan yang terkadang tapa kata di ruang tamu itu sudah berjalan dua jam lebih. Pak Dirjo bangkit dari duduknya, “ya sudah bu, saya pulang dulu, saya tidak bisa berlama-lama disini.”


Bu Sumi mengangguk, pertanda pasrah. Dimas hanya melempar senyum sinis melihat ayahnya melambaikan tangan, seakan sudah tidak mengenal ayahnya sendiri.


Seminggu kemudian motor baru Dimas datang, wajah Dimas memancarkan kegembiraan menyambut motor barunya, namun ada rasa bahagia dan takut dalam hati bu Sumi saat Dimas mulai mengelus-elus motor barunya. Ibunya pun tidak boleh meyentuh motornya apalagi teman-temannya. Sikap Dimas mulai berubah. Dalam sehari, sepulang sekolah, sudah lebih dari sepuluh kali Dimas berputar-putar dengan motor barunya keliling kampung. Tidak lain pamer kepada tetangga dan teman-teman kampung.


Dengan penuh kebangaan Dimas pun ikut dalam gang motor di sekolahnya. Kini Dimas tidak malu lagi dengan teman-teman yang dulu pernah mengejeknya, justru ia kini menjadi bagian dari mereka.


Belum genap dua bulan bergabung dengan gang motor Dimas ditangkap Polisi bersama dengan anggota gang lainnya. Tidak hanya urusan kebut-kebutan dan mengganggu ketertiban, Dimaspun juga positif menggunakan narkoba.


Suara bel pintu berbunyi nyaring beberapa kali, “ada apa Wan?” Tanya bu Sumi.


“Dimas bu, Dimas.”


“Iya, ada apa dengan Dimas?”


“Dimas ditangkap Polisi.”


Bu Sumi lemas tak sadarkan diri. Wandi, teman Dimas berteriak minta tolong sambil memegangi tubuh bu Sumi supaya tidak jatuh ke lantai.


“Ada apa Wan?” Tanya seorang warga.


“Bu Sumi pingsan, pak. Saat saya memberitahukan bahwa Dimas ditangkap Polisi”


Tampak wajah bu Sastro semakin pucat.


Tidak begitu lama, pak RT dan warga yang lain datang dan melihat wajah bu Sumi sudah semakin pucat dan dingin.


Ditengah malam dipinggiran kota, dering handphone pak Dirjo berbunyi memecah malam saat bersama istri mudanya sudah terlelap dipeluk dewi mimpi. Pak dirjo melirik layar LCD handpone dengan mata yang setengah terbuka dan mengangkatnya.


“Halo!”


“Bisakah bicara dengan Dirjo?”


“Ini siapa?”


“Saya Budi pak, RT bapak di kampung.”


“Iya, ada apa pak Budi, kok nelpon malam-malam?”


“Bigini pak, sebaiknya malam ini bapak pulang ke kampung karena istri bapak meninggal dunia lima belas menit yang lalu.”


Tampak tangan kiri pak Dirjo memgang dada kirinya dan selanjutnya pak RT hanya mendengar buyi tuuut…tuuut…tuuut…tuuut…


Keesokan harinya, dipemakaman sandingkanlah jasad suami istri itu, dan dibalik jeruji besi tubuh Dimas mengayun-ayun terlilit ikat pinggang dengan mata membelalak dan lidah yang menjulur keluar.



Malang, 24/10/08

No comments: